Pengikut

Rabu, 21 April 2010

PERALIHAN PEMIKIRAN TEOLOGIA WIYON-SOFLE DARI TRADISIONAL KE KONTEKSTUAL TRANSFORMATIF DALAM BERTEOLOGI

PERALIHAN PEMIKIRAN TEOLOGIA WIYON-SOFLE DARI TRADISIONAL KE KONTEKSTUAL TRANSFORMATIF DALAM BERTEOLOGI


oleh

Hamah Sagrim








Tulisan ini muncul dari refleksi bersama mengenai perkembangan teologi di Maybrat, Imian, Sawiat. Suatu refleksi dari tengah kisruhnya konteks bermasyarakat dan beragama, terutama ketika terjadi benturan-benturan peradaban dan persinggungan psikologis-ethnis, serta maraknya peralihan paradigma berpikir dalam dunia ilmu pengetahuan, tanpa kecuali teologi. Sambil lalu, refleksi Fritjof Capra (2000) mengenai peralihan paradigma ilmu merupakan imperative bagi perubahan ilmu itu sendiri.

Tidak berarti beralihnya suatu corak pemikiran sekedar mengisi agenda sosial yang ada, melainkan sebuah desakan untuk berkembang dan memantapkan signifikansi serta relevansi diri dari ilmu itu sendiri. Pada sisi lain peralihan pemikiran, terutama dalam teologi merupakan kulminasi perenungan mendalam (yang melahirkan insight) serta kepekaan yang tinggi terhadap konteks teologi itu sendiri. Secara metodologis, hal itu begitu mencolok dan terjadi pada teologi wiyon-wofle, karena teologi wiyon-wofle tidak memiliki infentarisasi data yang tetap, konstan, atau yang dibukukan, sebagai salah satu kitab tertua, melainkan datanya selalu ada dalam konteks menghafal.

Dala kerangka itu, tulisan ini mengajukan beberapa tema yang patut dijadikan bahan refleksi bersama, antara lain: Teologi: Tradisional dan Kontekstual; Perspektif Teologi Agama-agama; dan Teologi Proses sebagai sebuah model. Tema-tema ini kiranya dikritisi secara bersama untuk melihat kegunaannya dalam berteologi baik secara tradisional maupun moderen.

1. Teologi: Tradisional wiyon-wofle dan Kontekstual.

Memahami teologi tidak mesti dimulai dari sebuah defenisi yang baku atau standar mengenai ‘apa teologi’ itu? Atau pengertian teologi ialah…. Apalagi kalau defenisi teologi itu kemudian diurai secara etimologis. Orang akan dengan sederhananya mengatakan teologi itu terdiri dari dua kata Yunani, yaitu theous yang artinya Tuhan, dan logos, yang artinya perkataan, ucapan, firman, pengetahuan, dll. dengan demikian teologi wiyon-wofle berarti pengetahuan tentang/mengenai Tuhan. Perkataan yang serupa akan dipergunakan oleh setiap agama manapun di dunia baik agama monoteis maupun mistik.

Karena istilah ini sama-sama disepakati oleh setiap agama di dunia untuk mengungkapkan suatu gambaran tentang realitas tertinggi. Hal ini tidak salah, tetapi terlampau menyederhanakan teologi sebagai sebuah ilmu. Penyederhanaan itu menyebabkan kesalahan latent di mana teologi diperangkapkan dalam satu lingkungan abstrak dan transenden. Kiblatnya diarahkan ke realitas Tuhan yang transenden, bukan meresponi Tuhan yang historis dan imanen. Bahkan seluruh aktifitas manusia pun akhirnya mengarah ke transendensi itu. Keberakaran teologi dalam konteks kehidupan manusia semakin lemah, sehingga aksentuasi kehidupannya merupakan semacam ‘credit point’ untuk masuk surga. Kecenderungan teologia wiyon-wofle sangat menonjol dalam aksentuasi pada realitas dengan mengarah ke transendensi kealahan, walau kelihatannya hal ini membuat penganut wiyon-wofle terina bobokan sehingga tak ada ruang gerak bagi mereka untuk melakukan hal-hal yang terlampau frontal namun sebaliknya menjadikan mereka kaum yang lembah lembut.

Tanpa disadari, pemahaman teologi seperti itu telah membentuk perilaku beragama yang sangat normatif. Apa pun yang dilakukan harus berdasarkan pada ‘hukum-hukum wiyon-wofle “Tuhan sebagaimana tertuang dalam bo snyuk. Hal ini membuat sehingga perilaku inisiasi wiyon-wofle terlihat verbalis, tidak sebagai sebuah pola beragama universal, tetapi merupakan kekhususan atau kekhasan suatu kelompok numerary dan super numerary atau disebut ra wiyon-na wofle dan ra bam-na tmah. Namun vatalnya ialah, kecenderungan itu telah memunculkan sistem identifikasi diri yang patronis. Hal yang serupa dalam iman kristen, yaitu orang kristen, di berbagai tempat, termasuk di Maybrat, Imian, Sawiat, Papua, Indoensia, telah mengidentifikasi dirinya sebagai ‘Israel Baru’. Akibatnya seluruh fantasi kehidupan keagamaannya diarahkan sama dengan Israel di Palestina dalam seluruh kehidupannya. Dari situ tampak bahwa teologi yang selama ini dianut gagal melahirkan sebuah pengenalan dan identifikasi diri yang kontekstual. Teologi gagal membangun mentalitas beragama yang kontekstual, sebagai produk lingkungan di mana ia hadir. Mungkin kontekstual wiyon-wofle memiliki pola kehidupannya yang berbeda, namun ketika terhenti sehingga orang Maybrat, Imian, Sawiat, cenderung menganut kontekstual kristen yang semua kiblatisnya disesuaikan dengan Israel.

Mentalitas yang dianut seperti ini justeru merupakan sebuah duplikasi atau foto copy yang suram terhadap konteks beragama dari mana agama itu dating, lahir, atau tempat asal peziarah, penginjil. Dalam kenyataan seperti itu, tidak mengherankan jika sampai saat ini, orang kristen di Maybrat, Imian, Sawiat, lebih suka diidentikkan dengan Israel dan lingkungan Pelstinanya (bnd. Ideologi ‘Tanah Kanaan”) atau orang Islam dengan identitas Arabnya.

John Macquire (1996) merumuskan teologi sebagai suatu studi yang melalui partisipasi dan refleksi dalam suatu komunikasi iman yang mana berusaha dalam menyatakan inti iman dalam bahasa yang jelas dan sepadan mungkin. Bahasa yang jelas dan sepadang ini begitu kental dalam ekaristi teologia wiyon-wofle yang begitu tertutup dan terfokus sebagai disiplin inisiasi dan teologia.

Rumusan semacam itu mengisyaratkan pentingnya partisipasi refleksi dan ekspresi dalam teologi wiyon-wofle. Partisipasi-refleksi ini mengindikasikan bahwa teologi wiyon-wofle itu adalah suatu usaha berkelanjutan (continuity), sebab raa wiyon-na wofle, raa bam-na tmah, dan para murid, harus bergumul dalam iman yang sudah ada dan bertitik tolak dari iman mereka yang dalam. Inisiasi Teologi wiyon-sofle menghadap umat yang sudah terbentuk (ra mber) terstruktur dengan keimanannya sebagai hasil dari sejarah keagamaan mereka. Di dalam komunikasi beriman itu, teologi wiyon-wofle mengalami pendefenisian dan juga perubahan. Pada sisi yang lain, teologi wiyon-wofle adalah juga suatu keterputusan (discontinuity), sebab ia harus memformulasi iman itu dalam bentuk yang definitif (credo atau insight).

Sementara dimensi ekspresi dalam teologi wiyon-wofle yang terungkap melalui penggunaan dan pergaulan sosial, budaya, ekonomi, politik, agama, komunikasi sebagai media kehidupan sehari. Media-media itu merupakan media artikulasi teologi. di sini aspek bahasa memainkan peran sentral, bukan sekedar sebagai tanda atau simbol komunikasi melainkan sebagai penerjemah teologi dan perantara untuk memasuki ‘struktur dalam’ (emic perspective) komunitas wiyon-wofle.

Definisi ini mengisyaratkan bahwa pergulatan teologi wiyon-wofle adalah sebuah pergulatan historis. Teologi wiyon-wofle itu mensejarah dan dalam pensejarahannya mengalami perwajahan (dalam bentuk dogma, liturgi, credo, non biblikal dll); sekaligus membentuk sikap dan perspektif raa wiyon-na wofle bahwa (apakah itu eksklusif, inklusif, dll); sebenarnya perspektif wiyon-wofle bila dikembangkan hingga sekaran, akan mengalami benturan kontekstual, kemudian direfleksikan dan direformulasi atau dibarui.

Kesan umum bahwa orang Maybrat, Imian, Sawiat, mempunyai suatu teologi yang sudah tertanam berabad-abad lamanya, mulai dari masa kehidupan prasejarah mereka bersama dengan agama mereka, agama suku (tribe religion), sampai dengan masa datangnya agama besar (Kristen) yang menyusup kedalam jantung tribe religions secara fulgar. Warisan teologi wiyon-wofle ini membentuk corak agama keagamaannya, yaitu meliputi pandangan terhadap diri, lingkungan, sesama, kerja, dan kemudian mengenai wiyon-wofle Tuhan. Dalam khazanah ilmu teologi wiyon-wofle, corak itu bisa kita sebut sebagai teologi naturalis. Saya tidak suka menyebutnya tradisionalis, sebab jangan sampai kita terperangkap memahami tradisionalis sebagai melulu lama. Warisan-warisan itu yang kemudian dipertahankan sebagai suatu yang khas, dan tanpa sadar sulit diubah. Orang Maybrat, Imian, Sawiat, Papua, bahkan menjadikannya sebagai sebuah ‘dogma’ yang dijadikan sebagai dasar pengujian segala sesuatu dalam kehidupan mereka.

Bagaimana keluar dari kungkungan itu? Dekonstruksi? Tentu iya, tetapi bagaimana mengerjakannya? Jawabannya adalah membangun sebuah teologi kontekstual. Teologi kontekstual itu sebagai teologi yang dilakukan dengan memperhatikan roh dan berita injil (safo wiyon), tradisi wiyon-wofle, kebudayaan tempat raa wiyon-na wofle berteologi, perubahan sosial dan kebudayaan yang disebabkan oleh perubahan imanen dari tradisional ke moderen melalui kristen reformer sebagai teknologi barat dan perjuangan rakyat Maybrat, Imian, Sawiat, bagi keadilan, kesetaraan dan pembebasan. Dengan demikian teologi wiyon-wofle merupakan suatu teologi yang baru, karena harus mengembangkan sesuatu yang benar-benar baru, tetapi juga tradisional, karena merupakan kelanjutan dari apa yang telah ada.

Dari situ, teologi wiyon-wofle, sebetulnya merupakan refleksi kontekstual akan kehadiran manusia di dalam sejarah sebagai raa wiyon-na wofle, serta panggung sosial sebagai manusia biasa, dengan aktifitas-aktifitasnya. Teologi wiyon-wofle bukanlah refleksi mengenai Tuhan (wiyon-wofle) an-sich; justeru refleksi mengenai Tuhan (wiyon-wofle) itu dibentuk kemudian oleh refleksi terhadap raa wiyon-na wofle sebagai manusia. Pada ambang batas tertentu, barulah muncul ide mengenai wiyon-wofle Tuhan.

Dengan demikian halnya teologia kristen, diharuskan juga begitu, teologi kristen yang kontekstual mesti melepaskan kiblat lama yang cenderung mengarah ke lingkungan luar, yaitu lingkungan dari mana agama itu datang/lahir, atau lingkungan para peziarah injil. Termasuk melepaskan keterikatannya dengan konsep-konsep yang terlampau mengidentikkan diri kita dengan orang lain di luar lingkungan kita, sehingga Tuhan juga terbawa dan ia kelihatannya kecil serta terbagia-bagi tanpa keutuhan sebagaimana dia seutuhnya dan singular.

Teologi wiyon-wofle merupakan kesadaran berproses di dalam sejarah orang Maybrat, Imian, Sawiat, Papua, yang baru; dimana raa wiyon-na wofle selalu membaca/menghafal konteks sendiri sebagai sebuah data teologi, dan menggali produk beriman dari tengah konteks sendiri, sebagai sesuatu yang orisinil, dan bukan reduplikasi atas apa yang ada pada komunitas yang lain. Karena itu, teologi wiyon-wofle bukan saja memandang sejarah, melainkan juga selalu mengalami sejarah; berada di dalam sejarah perkembangan itu, karena teologi wiyon-wofle, tidak pernah mencapai ‘hasil yang akhiran’. Di sini, refleksi merupakan kunci, karena apa yang dicapai harus selalu ditafsirkan secara baru menurut perkembangan manusia.

2. Menjadikan Konteks lokal sebagai Bahan Pembelajaran Teologi

Tanpa sadar, orang Maybrat, Imian, Sawiat, Papua, berteologia dengan memandang pada konteks wiyon-wofle. Sama halnya bahwa orang kristen sebenarnya juga demikian dengan mengaplikasikannya sesuai dengan konteks kehidupan setempat, namun sebaliknya, selalu penganut agama monoteis berteologi dengan memandang pada konteks Palestina, Arab, dan Eropa dan Amerika Utara/Latin, Asia Barat. Hal ini nampak melalui produk-produk teologia yang dijadikan semacam ‘Bahan Ajar’, baik dalam lingkungan akademik maupun lingkungan beragama.

Corak ini tampak, karena orang terlampau membatasi teologi sebagai sebuah persoalan keagamaan dan bukan fenomena ilmu yang telah berkembang berabad-abad lamanya dalam kerangka itu, tidak mengherangkan jika teologi kristen baru diterima sebagai lmu di dalam kehidupan masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, papua, Indonesia pada abad ke-18, atas provokasi para teolog dari Sending, GKI, Katolik, Pentakosta dll. Padahal dalam sejarah ilmu, teologi disebut ‘ibu ilmu’. Karena pembatasan lingkungan teologi wiyon-wofle tadi, maka ‘materi ajar’ dalam inisiasi teologi wiyon-wofle masih merupakan produk-produk dogmatik yang tertutup dan bertujuan untuk menanamkan pemahaman kepada raa wiyon-na wofle mengenai integritas dirinya. Tanpa sadar, sebuah pelajaran moral kepada orang Maybrat, Imian, Sawiat, Papua, secara langsung diparalelkan dengan kisah-kisah dari dalam Alkitab atau Al-Qur’an.

Narasi-narasi lokal kontekstual, yang memuat pandangan hidup dan pandangan dunia masyarakat setempat tidak pernah dipandang sebagai ‘unit data’ yang kontekstual. Di atas prinsip itu, teologi kontekstual merupakan produk lingkungan di mana ia ada dan di mana orang yang berteologi itu hidup. Lingkungan itulah yang mesti digarap dalam berteologi. Di sinilah tanggungjawab kita untuk memandang Indonesia dan juga Maluku sebagai sebuah fenomena teologi.

Kristen barat dan wiyon-wofle Maybrat, Imian, Sawiat, Papua, adalah ‘locus teology’, di mana mesti muncul corak hidup yang setara, adil, sejahtera, demokratis. Sebuah ‘locus teology’ yang tidak diskriminatif, tidak terkristal menurut kelompok-kelompok tertentu (secara sosial maupun politik), melainkan sebagai fenomena beragama, fenomena masyarakat manusia yang setara di hadapan Tuhan yang satu.

Dengan begitu, teologi bukanlah monopoli orang yang mempelajari teologi secara akademis, atau para ulama, tetapi tugas kepada setiap manusia dalam menjalankan setiap aktivitasnya. Dengan begitu teologi mesti ada dalam setiap kebudayaan, harus lahir dari tengan setiap jenis aktivitas manusia, harus dikemnbangkan dari semua sisi pemikiran (paradigma), dan mesti merupakan spirit dalam berpikir, bertindak dan berperilaku menuju kesejahteraan dan keadilan bagi semua orang.

Dalam konteks Maybrat, Imian, Sawiat, Papua, seperti adanya kini, teologi bukanlah pilihan ‘kalau suka’ tetapi perintah untuk mewujudkan rekonseliasi, dan spirit membangun sebuah kohesi sosial dan politik, demi masa depan bersama. Teologi wiyon-wofle dipandang sebagai teologi ‘keberpihakan kepada kehidupan orang Maybra, Imian, Sawiat, Papua.

3. Wiyon-wofle Abad ke 18-an

Inisiasi wiyon-wofle adalah ‘ritus adat’ antara tiga suku, yaitu Maybrat, Imian, Sawiat, yang diselenggarakan setiap satu tahun sekali, sesuai dengan pengelompokan sesuai dengan waktu inisiasinya.

Dalam tradisi ini, ketiga suku ini mengakui memiliki Tuhan, karena itu mereka selalu melakukan aktivitas yang serba hati-hati dan sesuai dengan dogma dan aturan dari teologi wiyon-wofle. Walaupun tiap orang Maybrat, Imian, Sawiat, mempunyai pola hidup yang sedikit berbeda terutama dalam bahasa masing-masing dimana selalu menyapa saudara, maupun berkomunikasi.

Ritus wiyon-wofle abad ke18-an, adalah yang terakhir dalam kurun waktu abad 18-an sampai kini. Beberapa kali didiskusikan oleh orang Maybrat, Imian, Sawia, namun terkendala oleh beberapa hal prinsip. Pada tahun 1959, kendalanya adalah Pemerintahan Hindia Belanda melalui Bustir, di wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, yang melakukan perlawanan dengan pembongkaran terhadap kemah-kemah inisiasi “k’wiyon-mbol wofle” serta perintah larangan yang mepresing secara ketat tentang aktivitas inisiasi ini, dan selanjutnya oleh alasan keimanan yang kolot karena dianggap tradisi, maupun keamanan Masyarakat yang belum kondusif.

Sebagai generasi muda Maybrat, Imian, Sawiat, sangat mendambakan agar tali ikatan inisiasi ini tetap terpelihara. Sekarang orang Maybrat, Imian, Sawiat sudah mulai menyadari dasar kearifan local mereka. Wiyon-wofle harus ditanam lebih berakar lagi terutama dalam mengubah karakter manusia.



ulisan ini muncul dari refleksi bersama mengenai perkembangan teologi di Maybrat, Imian, Sawiat. Suatu refleksi dari tengah kisruhnya konteks bermasyarakat dan beragama, terutama ketika terjadi benturan-benturan peradaban dan persinggungan psikologis-ethnis, serta maraknya peralihan paradigma berpikir dalam dunia ilmu pengetahuan, tanpa kecuali teologi. Sambil lalu, refleksi Fritjof Capra (2000) mengenai peralihan paradigma ilmu merupakan imperative bagi perubahan ilmu itu sendiri.

Tidak berarti beralihnya suatu corak pemikiran sekedar mengisi agenda sosial yang ada, melainkan sebuah desakan untuk berkembang dan memantapkan signifikansi serta relevansi diri dari ilmu itu sendiri. Pada sisi lain peralihan pemikiran, terutama dalam teologi merupakan kulminasi perenungan mendalam (yang melahirkan insight) serta kepekaan yang tinggi terhadap konteks teologi itu sendiri. Secara metodologis, hal itu begitu mencolok dan terjadi pada teologi wiyon-wofle, karena teologi wiyon-wofle tidak memiliki infentarisasi data yang tetap, konstan, atau yang dibukukan, sebagai salah satu kitab tertua, melainkan datanya selalu ada dalam konteks menghafal.

Dala kerangka itu, tulisan ini mengajukan beberapa tema yang patut dijadikan bahan refleksi bersama, antara lain: Teologi: Tradisional dan Kontekstual; Perspektif Teologi Agama-agama; dan Teologi Proses sebagai sebuah model. Tema-tema ini kiranya dikritisi secara bersama untuk melihat kegunaannya dalam berteologi baik secara tradisional maupun moderen.

1. Teologi: Tradisional wiyon-wofle dan Kontekstual.

Memahami teologi tidak mesti dimulai dari sebuah defenisi yang baku atau standar mengenai ‘apa teologi’ itu? Atau pengertian teologi ialah…. Apalagi kalau defenisi teologi itu kemudian diurai secara etimologis. Orang akan dengan sederhananya mengatakan teologi itu terdiri dari dua kata Yunani, yaitu theous yang artinya Tuhan, dan logos, yang artinya perkataan, ucapan, firman, pengetahuan, dll. dengan demikian teologi wiyon-wofle berarti pengetahuan tentang/mengenai Tuhan. Perkataan yang serupa akan dipergunakan oleh setiap agama manapun di dunia baik agama monoteis maupun mistik.

Karena istilah ini sama-sama disepakati oleh setiap agama di dunia untuk mengungkapkan suatu gambaran tentang realitas tertinggi. Hal ini tidak salah, tetapi terlampau menyederhanakan teologi sebagai sebuah ilmu. Penyederhanaan itu menyebabkan kesalahan latent di mana teologi diperangkapkan dalam satu lingkungan abstrak dan transenden. Kiblatnya diarahkan ke realitas Tuhan yang transenden, bukan meresponi Tuhan yang historis dan imanen. Bahkan seluruh aktifitas manusia pun akhirnya mengarah ke transendensi itu. Keberakaran teologi dalam konteks kehidupan manusia semakin lemah, sehingga aksentuasi kehidupannya merupakan semacam ‘credit point’ untuk masuk surga. Kecenderungan teologia wiyon-wofle sangat menonjol dalam aksentuasi pada realitas dengan mengarah ke transendensi kealahan, walau kelihatannya hal ini membuat penganut wiyon-wofle terina bobokan sehingga tak ada ruang gerak bagi mereka untuk melakukan hal-hal yang terlampau frontal namun sebaliknya menjadikan mereka kaum yang lembah lembut.

Tanpa disadari, pemahaman teologi seperti itu telah membentuk perilaku beragama yang sangat normatif. Apa pun yang dilakukan harus berdasarkan pada ‘hukum-hukum wiyon-wofle “Tuhan sebagaimana tertuang dalam bo snyuk. Hal ini membuat sehingga perilaku inisiasi wiyon-wofle terlihat verbalis, tidak sebagai sebuah pola beragama universal, tetapi merupakan kekhususan atau kekhasan suatu kelompok numerary dan super numerary atau disebut ra wiyon-na wofle dan ra bam-na tmah. Namun vatalnya ialah, kecenderungan itu telah memunculkan sistem identifikasi diri yang patronis. Hal yang serupa dalam iman kristen, yaitu orang kristen, di berbagai tempat, termasuk di Maybrat, Imian, Sawiat, Papua, Indoensia, telah mengidentifikasi dirinya sebagai ‘Israel Baru’. Akibatnya seluruh fantasi kehidupan keagamaannya diarahkan sama dengan Israel di Palestina dalam seluruh kehidupannya. Dari situ tampak bahwa teologi yang selama ini dianut gagal melahirkan sebuah pengenalan dan identifikasi diri yang kontekstual. Teologi gagal membangun mentalitas beragama yang kontekstual, sebagai produk lingkungan di mana ia hadir. Mungkin kontekstual wiyon-wofle memiliki pola kehidupannya yang berbeda, namun ketika terhenti sehingga orang Maybrat, Imian, Sawiat, cenderung menganut kontekstual kristen yang semua kiblatisnya disesuaikan dengan Israel.

Mentalitas yang dianut seperti ini justeru merupakan sebuah duplikasi atau foto copy yang suram terhadap konteks beragama dari mana agama itu dating, lahir, atau tempat asal peziarah, penginjil. Dalam kenyataan seperti itu, tidak mengherankan jika sampai saat ini, orang kristen di Maybrat, Imian, Sawiat, lebih suka diidentikkan dengan Israel dan lingkungan Pelstinanya (bnd. Ideologi ‘Tanah Kanaan”) atau orang Islam dengan identitas Arabnya.

John Macquire (1996) merumuskan teologi sebagai suatu studi yang melalui partisipasi dan refleksi dalam suatu komunikasi iman yang mana berusaha dalam menyatakan inti iman dalam bahasa yang jelas dan sepadan mungkin. Bahasa yang jelas dan sepadang ini begitu kental dalam ekaristi teologia wiyon-wofle yang begitu tertutup dan terfokus sebagai disiplin inisiasi dan teologia.

Rumusan semacam itu mengisyaratkan pentingnya partisipasi refleksi dan ekspresi dalam teologi wiyon-wofle. Partisipasi-refleksi ini mengindikasikan bahwa teologi wiyon-wofle itu adalah suatu usaha berkelanjutan (continuity), sebab raa wiyon-na wofle, raa bam-na tmah, dan para murid, harus bergumul dalam iman yang sudah ada dan bertitik tolak dari iman mereka yang dalam. Inisiasi Teologi wiyon-sofle menghadap umat yang sudah terbentuk (ra mber) terstruktur dengan keimanannya sebagai hasil dari sejarah keagamaan mereka. Di dalam komunikasi beriman itu, teologi wiyon-wofle mengalami pendefenisian dan juga perubahan. Pada sisi yang lain, teologi wiyon-wofle adalah juga suatu keterputusan (discontinuity), sebab ia harus memformulasi iman itu dalam bentuk yang definitif (credo atau insight).

Sementara dimensi ekspresi dalam teologi wiyon-wofle yang terungkap melalui penggunaan dan pergaulan sosial, budaya, ekonomi, politik, agama, komunikasi sebagai media kehidupan sehari. Media-media itu merupakan media artikulasi teologi. di sini aspek bahasa memainkan peran sentral, bukan sekedar sebagai tanda atau simbol komunikasi melainkan sebagai penerjemah teologi dan perantara untuk memasuki ‘struktur dalam’ (emic perspective) komunitas wiyon-wofle.

Definisi ini mengisyaratkan bahwa pergulatan teologi wiyon-wofle adalah sebuah pergulatan historis. Teologi wiyon-wofle itu mensejarah dan dalam pensejarahannya mengalami perwajahan (dalam bentuk dogma, liturgi, credo, non biblikal dll); sekaligus membentuk sikap dan perspektif raa wiyon-na wofle bahwa (apakah itu eksklusif, inklusif, dll); sebenarnya perspektif wiyon-wofle bila dikembangkan hingga sekaran, akan mengalami benturan kontekstual, kemudian direfleksikan dan direformulasi atau dibarui.

Kesan umum bahwa orang Maybrat, Imian, Sawiat, mempunyai suatu teologi yang sudah tertanam berabad-abad lamanya, mulai dari masa kehidupan prasejarah mereka bersama dengan agama mereka, agama suku (tribe religion), sampai dengan masa datangnya agama besar (Kristen) yang menyusup kedalam jantung tribe religions secara fulgar. Warisan teologi wiyon-wofle ini membentuk corak agama keagamaannya, yaitu meliputi pandangan terhadap diri, lingkungan, sesama, kerja, dan kemudian mengenai wiyon-wofle Tuhan. Dalam khazanah ilmu teologi wiyon-wofle, corak itu bisa kita sebut sebagai teologi naturalis. Saya tidak suka menyebutnya tradisionalis, sebab jangan sampai kita terperangkap memahami tradisionalis sebagai melulu lama. Warisan-warisan itu yang kemudian dipertahankan sebagai suatu yang khas, dan tanpa sadar sulit diubah. Orang Maybrat, Imian, Sawiat, Papua, bahkan menjadikannya sebagai sebuah ‘dogma’ yang dijadikan sebagai dasar pengujian segala sesuatu dalam kehidupan mereka.

Bagaimana keluar dari kungkungan itu? Dekonstruksi? Tentu iya, tetapi bagaimana mengerjakannya? Jawabannya adalah membangun sebuah teologi kontekstual. Teologi kontekstual itu sebagai teologi yang dilakukan dengan memperhatikan roh dan berita injil (safo wiyon), tradisi wiyon-wofle, kebudayaan tempat raa wiyon-na wofle berteologi, perubahan sosial dan kebudayaan yang disebabkan oleh perubahan imanen dari tradisional ke moderen melalui kristen reformer sebagai teknologi barat dan perjuangan rakyat Maybrat, Imian, Sawiat, bagi keadilan, kesetaraan dan pembebasan. Dengan demikian teologi wiyon-wofle merupakan suatu teologi yang baru, karena harus mengembangkan sesuatu yang benar-benar baru, tetapi juga tradisional, karena merupakan kelanjutan dari apa yang telah ada.

Dari situ, teologi wiyon-wofle, sebetulnya merupakan refleksi kontekstual akan kehadiran manusia di dalam sejarah sebagai raa wiyon-na wofle, serta panggung sosial sebagai manusia biasa, dengan aktifitas-aktifitasnya. Teologi wiyon-wofle bukanlah refleksi mengenai Tuhan (wiyon-wofle) an-sich; justeru refleksi mengenai Tuhan (wiyon-wofle) itu dibentuk kemudian oleh refleksi terhadap raa wiyon-na wofle sebagai manusia. Pada ambang batas tertentu, barulah muncul ide mengenai wiyon-wofle Tuhan.

Dengan demikian halnya teologia kristen, diharuskan juga begitu, teologi kristen yang kontekstual mesti melepaskan kiblat lama yang cenderung mengarah ke lingkungan luar, yaitu lingkungan dari mana agama itu datang/lahir, atau lingkungan para peziarah injil. Termasuk melepaskan keterikatannya dengan konsep-konsep yang terlampau mengidentikkan diri kita dengan orang lain di luar lingkungan kita, sehingga Tuhan juga terbawa dan ia kelihatannya kecil serta terbagia-bagi tanpa keutuhan sebagaimana dia seutuhnya dan singular.

Teologi wiyon-wofle merupakan kesadaran berproses di dalam sejarah orang Maybrat, Imian, Sawiat, Papua, yang baru; dimana raa wiyon-na wofle selalu membaca/menghafal konteks sendiri sebagai sebuah data teologi, dan menggali produk beriman dari tengah konteks sendiri, sebagai sesuatu yang orisinil, dan bukan reduplikasi atas apa yang ada pada komunitas yang lain. Karena itu, teologi wiyon-wofle bukan saja memandang sejarah, melainkan juga selalu mengalami sejarah; berada di dalam sejarah perkembangan itu, karena teologi wiyon-wofle, tidak pernah mencapai ‘hasil yang akhiran’. Di sini, refleksi merupakan kunci, karena apa yang dicapai harus selalu ditafsirkan secara baru menurut perkembangan manusia.

2. Menjadikan Konteks lokal sebagai Bahan Pembelajaran Teologi

Tanpa sadar, orang Maybrat, Imian, Sawiat, Papua, berteologia dengan memandang pada konteks wiyon-wofle. Sama halnya bahwa orang kristen sebenarnya juga demikian dengan mengaplikasikannya sesuai dengan konteks kehidupan setempat, namun sebaliknya, selalu penganut agama monoteis berteologi dengan memandang pada konteks Palestina, Arab, dan Eropa dan Amerika Utara/Latin, Asia Barat. Hal ini nampak melalui produk-produk teologia yang dijadikan semacam ‘Bahan Ajar’, baik dalam lingkungan akademik maupun lingkungan beragama.

Corak ini tampak, karena orang terlampau membatasi teologi sebagai sebuah persoalan keagamaan dan bukan fenomena ilmu yang telah berkembang berabad-abad lamanya dalam kerangka itu, tidak mengherangkan jika teologi kristen baru diterima sebagai lmu di dalam kehidupan masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, papua, Indonesia pada abad ke-18, atas provokasi para teolog dari Sending, GKI, Katolik, Pentakosta dll. Padahal dalam sejarah ilmu, teologi disebut ‘ibu ilmu’. Karena pembatasan lingkungan teologi wiyon-wofle tadi, maka ‘materi ajar’ dalam inisiasi teologi wiyon-wofle masih merupakan produk-produk dogmatik yang tertutup dan bertujuan untuk menanamkan pemahaman kepada raa wiyon-na wofle mengenai integritas dirinya. Tanpa sadar, sebuah pelajaran moral kepada orang Maybrat, Imian, Sawiat, Papua, secara langsung diparalelkan dengan kisah-kisah dari dalam Alkitab atau Al-Qur’an.

Narasi-narasi lokal kontekstual, yang memuat pandangan hidup dan pandangan dunia masyarakat setempat tidak pernah dipandang sebagai ‘unit data’ yang kontekstual. Di atas prinsip itu, teologi kontekstual merupakan produk lingkungan di mana ia ada dan di mana orang yang berteologi itu hidup. Lingkungan itulah yang mesti digarap dalam berteologi. Di sinilah tanggungjawab kita untuk memandang Indonesia dan juga Maluku sebagai sebuah fenomena teologi.

Kristen barat dan wiyon-wofle Maybrat, Imian, Sawiat, Papua, adalah ‘locus teology’, di mana mesti muncul corak hidup yang setara, adil, sejahtera, demokratis. Sebuah ‘locus teology’ yang tidak diskriminatif, tidak terkristal menurut kelompok-kelompok tertentu (secara sosial maupun politik), melainkan sebagai fenomena beragama, fenomena masyarakat manusia yang setara di hadapan Tuhan yang satu.

Dengan begitu, teologi bukanlah monopoli orang yang mempelajari teologi secara akademis, atau para ulama, tetapi tugas kepada setiap manusia dalam menjalankan setiap aktivitasnya. Dengan begitu teologi mesti ada dalam setiap kebudayaan, harus lahir dari tengan setiap jenis aktivitas manusia, harus dikemnbangkan dari semua sisi pemikiran (paradigma), dan mesti merupakan spirit dalam berpikir, bertindak dan berperilaku menuju kesejahteraan dan keadilan bagi semua orang.

Dalam konteks Maybrat, Imian, Sawiat, Papua, seperti adanya kini, teologi bukanlah pilihan ‘kalau suka’ tetapi perintah untuk mewujudkan rekonseliasi, dan spirit membangun sebuah kohesi sosial dan politik, demi masa depan bersama. Teologi wiyon-wofle dipandang sebagai teologi ‘keberpihakan kepada kehidupan orang Maybra, Imian, Sawiat, Papua.

3. Wiyon-wofle Abad ke 18-an

Inisiasi wiyon-wofle adalah ‘ritus adat’ antara tiga suku, yaitu Maybrat, Imian, Sawiat, yang diselenggarakan setiap satu tahun sekali, sesuai dengan pengelompokan sesuai dengan waktu inisiasinya.

Dalam tradisi ini, ketiga suku ini mengakui memiliki Tuhan, karena itu mereka selalu melakukan aktivitas yang serba hati-hati dan sesuai dengan dogma dan aturan dari teologi wiyon-wofle. Walaupun tiap orang Maybrat, Imian, Sawiat, mempunyai pola hidup yang sedikit berbeda terutama dalam bahasa masing-masing dimana selalu menyapa saudara, maupun berkomunikasi.

Ritus wiyon-wofle abad ke18-an, adalah yang terakhir dalam kurun waktu abad 18-an sampai kini. Beberapa kali didiskusikan oleh orang Maybrat, Imian, Sawia, namun terkendala oleh beberapa hal prinsip. Pada tahun 1959, kendalanya adalah Pemerintahan Hindia Belanda melalui Bustir, di wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, yang melakukan perlawanan dengan pembongkaran terhadap kemah-kemah inisiasi “k’wiyon-mbol wofle” serta perintah larangan yang mepresing secara ketat tentang aktivitas inisiasi ini, dan selanjutnya oleh alasan keimanan yang kolot karena dianggap tradisi, maupun keamanan Masyarakat yang belum kondusif.

Sebagai generasi muda Maybrat, Imian, Sawiat, sangat mendambakan agar tali ikatan inisiasi ini tetap terpelihara. Sekarang orang Maybrat, Imian, Sawiat sudah mulai menyadari dasar kearifan local mereka. Wiyon-wofle harus ditanam lebih berakar lagi terutama dalam mengubah karakter manusia.

0 komentar:

tentang blog ini

Blog ini didirikan dengan tujuan sebagai tempat diskusi online orang Maybrat dimana saja berada.

1. apakah anda sudah menjadi anggota?
2. berikan pesan, komentar, pendapat, ide, nyanyian, syair, canda, tawa, dan lain-lain tentang apa saja, terutama yang berkaitan dengan Maybrat, di blog ini.

terima kasih dan salam

Blog Archive

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP