Pengikut

Rabu, 21 April 2010

Alkitab sebagai Sumber Pertumbuhan Iman Kristen VS Watum Sebagai Sumber pertumbuhan Iman Wiyon-Wofle.

Alkitab sebagai Sumber Pertumbuhan Iman Kristen VS Watum Sebagai Sumber pertumbuhan Iman Wiyon-Wofle.


oleh

Hamah sagrim



1. Apa itu alkitab (sumber kristen) dan bo tgif (sumber wiyon-wofle)?”.

Ini merupakan kajian sosiologis terhadap dinamika penulisan alkitab dan penghafalan bo tgif, dan pemahaman masing-masing. Debat Tak Berakhir I keep you dangling between belief and disbelief by turns, and I don’t mind admitting that I have a reason for it. It’s the new method, sir. For when you lose your faith in me completely, you will at once begin assuring me to my face that I’m not a dream, but do really exist (V. Ivanov, Freedom and the Tragic Life, Nonday Press, 1957, p.759)”.

Mempersoalkan Alkitab, apa masih perlu. Paling tidak pertanyaan mengenai signifikansinya sudah barang tentu membuat diskursus mengenai Alkitab akan mengalami pebenturan pemahaman dan penghayatan iman. Berbeda dengan bo tgif yang layaknya telah berjalan mulus tanpa perdebatan atau diganggu gugat oleh siapapun orang tertentu. Ini berbeda dengan kitab injil.

Kita dapat melihat bahwa benturan pemahaman merupakan sebuah gejala akademis (epistemologis) mengenai dasar-dasar keilmuan dari Alkitab itu sendiri. Ini dapat saja terjadi karena warisan pemahaman teologi yang berbeda-beda. Teologi biblika akan menghadapkan kita pada varian pemahaman mengenai Alkitab itu sendiri. Sebagai contoh formulasi masalahnya ialah apakah Alkitab itu firman Tuhan, atau apa hubungan otoritas ilahi dengan karya para penulis menyusun tulisan-tulisan tersebut?. Orang Maybrat, Imian, Sawiat, tidak pernah melakukan pertanyaan semacam ini terhadap bo tgif atau vito atau bo snyuk. Ini mungkin karena ketidak pahaman orang awam atau karena aktivitas wiyon-wofle yang tertutup atau tersembunyi.

Pada fase penghayatan, faktor iman mendominasi seluruh kerangka pengertian orang Maybrat, Imian, Sawiat tentang bo tgif, vito dan bo snyuk. Hal yang serupa terjadi pada kalangan imanen kristen yang mendominasi keseluruhan kerangka pengertian mengenai Alkitab. Kalau orang sudah mendefinisikan Alkitab sebagai Firman Tuhan dan memahaminya secara harfiah, jangan harap ada sikap kritis terhadapnya. Ini yang terjadi pada kehidupan orang Maybrat, Imian, Sawiat, yang mana mereka telah mendefinisikan bo tgif sebagai firman dan memahaminya secara harfiah, sehingga tidak adanya kritikan terhadap bo tgif itu sendiri. Dan jika ada sikap kritis, orang itu akan dimasukkan dalam “gheto” bersama dengan “orang-orang yang tidak beriman”.

Mengapa fenomena itu ada. Norman K. Gottwald membantu kita memetakan kecenderungan pemahaman umum mengenai Alkitab dan kemudian paradigma pemahaman teologi. Fenomena tadi bagi Gottwald merupakan kecenderungan dari dual causality approach dalam pemahaman teologis masyarakat. Prinsip “dua penyebab” ini adalah pendekatan yang mengarah ke Tuhan (divine system) dan pendekatan yang mengarah ke manusia (human system).

Corak pemahaman divine system lebih condong kepada sebab-sebab ketuhanan, sebaliknya human system condong kepada sebab-sebab kemanusiaan. Dinamika transenden dan dinamika sosial nampak sebagai penyebab terjadinya sesuatu, demikian juga terhadap tulisan suci. Yairah Amit, seperti dikutip Gottwald, melihat bahwa dua pendekatan ini mesti saling mengisi, tanpa harus dipertentangkan. Pokok soalnya ialah hubungan dinamika kemanusiaan itu menjelaskan realitas ketuhanan, dan sebaliknya sebab-sebab ketuhanan itu bermakna dalam dinamika sosial manusia melalui “providencia”.

Pendapat-pendapat tersebut dijadikan sebagai dasar membangun kajian ini secara teoretik. Di samping itu, dalam rangka membahas tema tulisan ini, saya mencoba menarik sintesa dari berbagai studi sosiologis mengenai dinamika sosial dan politik penyusunan tulisan-tulisan suci, yang kemudian disebut Alkitab.

1) Latar Sosial Israel Alkitab

Alkitab sebagai karya tulis para scriba dihasilkan melalui pergumulan panjang dalam suatu lingkungan sosial. Berbeda dengan bo tgif, vito, dan bo snyuk dalam k’wiyon-mbol wofle yang hanya menghafal tanpa teks yang dilakukan secara turun-temurun tetap sama, dan tidak didasarkan pada alam fantasi. Alkitab pun demikian, Scriba tidak menulis dalam “alam fantasi” atau dari tengah kondisi “ekstasi”, mereka sadar akan realita yang dihadapinya, berupa tekanan, keresahan rakyat, harapan dan keputusasaan, kelaparan, kesejahteraan, dan kemenangan. Mereka mengangkat dan menuangkan ekspresi rakyat dan/atau ekspresinya sendiri dalam bentuk tulisan, yang bisa juga berupa propaganda politik dalam rangka mendukung tegaknya suatu dinasti (royal writings), atau sebagai dasar legitimasi bagi naiknya seseorang menjadi raja (bnd. karya J sebagai propaganda politik Daud; dan karya Dh sebagai propaganda mendukung Yosia sebagai pewaris sah dinasti Daud).

Dunia sosial (social setting) dari tulisan-tulisan menuangkan latar belakang ekspresi dan artikulasi iman dalam bentuk tulisan, yang kemudian disebut Alkitab (tulisan suci). Dunia sosial yang dimaksud di sini tidak menunjuk sebatas pada lokasi geografis (place), tetapi issu dan tujuan bersama (common will) masyarakat serta masalah sosial yang dialami dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, ada tiga unsur pokok dalam dunia sosial, yaitu tempat dan ruang (lingkungan, relasi/kontak, tokoh), ideologi (issu, harapan, tujuan, keresahan, dsb) dan waktu (pergerakan sejarah, peristiwa).

Ekspresi umat yang dikristalkan dalam bentuk tulisan merupakan kulminasi dari pengalaman nyata rakyat, baik secara teologis maupun sosiologis, dalam hubungan dengan orang lain dan dengan Tuhan. Bentuk-bentuk ekspresi dalam Alkitab seperti saga, legenda, ucapan-ucapan (logia), puisi, lagu, theater, drama, liturgi, cerita sejarah,hukum, dsb. Bentuk-bentuk itu ditulis dan dikodefikasi sebagai tulisan suci dalam kanon.

a) Teritori dan Konteks Sosio-Politis Israel Alkitab.

Dunia darimana Alkitab ditulis adalah suatu lingkungan masyarakat agraris di Palestina yang gemar menanam jelai (semacam padi/gandum). Kelompok masyarakat ini terbilang kecil, sebab lingkungannya yang tandus, dan kurang produktif untuk mendukung hidup populasi masyarakat. Karena itu mudah dikuasai oleh bangsa-bangsa besar, seperti Siria, Mesir, Babel, Yunani dan Romawi.

Israel, merupakan lokus lahirnya tulisan suci yang kemudian dikodefikasikan sebagai Alkitab yang kini ada di tangan kita. Israel, darimana tulisan itu lahir, tidak seperti Israel yang kini kita ketahui bersama. Suatu lingkungan suku-suku yang semula merupakan suatu wilayah konfiderasi, tidak menyatu seperti diceritakan dalam Alkitab. Sebuah liga suku yang tinggal di daerah padang gurun Trans Yordan.

Wilayah-wilayah penting sebagai teritori konfiderasi suku-suku itu ialah wilayah pesisir Laut Tengah (tepatnya di teluk Acconorth di lembah gunung Karmel), di sepanjang Delta sungai Nil. Wilayah ini dihuni oleh orang-orang Filistin, dan kemudian oleh tentara-tentara Daud ketika ia membangun persepakatan militer dengan Filistin. Wilayah berikutnya ialah kota perbukitan Yehuda. Pusatnya berada di puncak bukit (kemudian dinamakan Sion), dengan wilayah yang agak tandus dibagian barat, sedangkan wilayah timurnya agak subur karena dekat dengan perairan dan bermuara di Laut Mati.

Teritori ketiga ialah kota perbukitan Samaria, yang berada di antara perbatasan Yehuda dengan Benjamin. Posisinya menyerupai sadel (pelana) kuda di antara dua bukit Yehuda dan Benjamin tadi. Wilayah lain yang cukup subur sebagai penghasil minyak dan anggur adalah kota perbukitan Galilea. Wilayah ini menjadi salah satu bandar dagang terbesar di Palestina.

Suku-suku itu tersebar di seluruh wilayah tadi, dan sebagiannya ada di dataran Gilead, atau juga di wilayah Amon, Edom dan Moab. Intensitas hubungan sosio-politik antar suku dan/atau dengan bangsa-bangsa sekitar cukup tinggi, baik dalam hubungan dagang, maupun karena faktor koloni (penjajahan).

Mesir merupakan negara adidaya yang besar pengaruhnya. Kekuatan ini mengalami masa jayanya pada penghujung abad ke-14, dan terutama pada masa pemerintahan Ramses II (1279-1212), Merenptah (1212-1202) dan Ramses III (1183-1152). Kekaisaran baru ini terus mengembangkan kekuasaannya di seluruh wilayah Palestina dengan jalan membangun gudang-gudang granisium, gudang makanan, dan mega proyek lainnya. Seluruh wilayah taklukan diwajibkan tunduk kepada hukum Mesir, termasuk di dalamnya sistem perpajakan dan aneka arsitektur seni, ritual maupun kultus.

Pengaruh politik itu berimplikasi pada perubahan mata pencarian dan sistem permukiman dari orang-orang yang hendak melepaskan diri dari cengkeraman politik Mesir. Oleh sebab itu kota dibangun di puncak bukit, dan orang mulai melepaskan pekerjaan pertaniannya ke pekerjaan sebagai penggembala dan/atau bandit yang beroperasi di padang gurun. Sebagian besar kelompok itu adalah orang-orang apiru, yaitu orang-orang yang bermigrasi karena tekanan sosial, politik dan ekonomi, sehingga kehilangan identitasnya sebagai suatu bangsa. Karena kesulitan ekonomi, dan terlilit pajak atau hutang, mereka menyebar dan selalu membentuk kelompok gank yang dapat disewa sebagai “tentara upahan” untuk kepentingan kelompok tertentu.

Israel Alkitab terpaksa harus ada dalam pergumulan politis seperti itu. Suku-suku pun menjadi bagian dari penaklukan bangsa-bangsa asing. Kenyataan itu menjadi salah satu taget politik Daud untuk menyatukan suku-suku yang ada sebagai suatu liga yang besar untuk menentang dominasi bangsa-bangsa asing.

Dari waktu ke waktu, kekuatan politik Mesir jatuh. Dalam konteks itu, Daud membangun persepakatan militer dengan Filistin. Usaha itu bertujuan untuk menentang kekuatan Mesir. Persepakatan politik itu bertujuan untuk memperkuat posisinya sebagai pemimpin di Israel Alkitab.

Dalam rangka memperkuat posisi politiknya Daud menyusun cerita-cerita sebagai suatu alat propaganda politik. Di sinilah para scriba dipakainya untuk membuat dan menyebar tulisan-tulisan itu. Pada masa itu dunia tulis-menulis hanya dikuasai oleh sekelompok orang tertentu, dan umumnya adalah kelompok elite sosial. Tulisan-tulisan itu muncul dalam berbagai rupa, seperti karya sastra, berupa puisi, drama, fragmen, saga, apos, atau juga musik. Di samping itu, rumusan hukum kemudian muncul sebagai suatu alat legitimasi kekuasaan, baik hukum pajak, hukum militer, hukum kemanusiaan, dll. Tampak kepentingan politis dari tulisan-tulisan tersebut.

Dengan demikian jelas bahwa tulisan paling awal muncul dari dalam lingkungan kekuasaan (istana – the royal writings), dan bukan dari konteks keseharian masyarakat. Dari segi ini, jika tulisan-tulisan itu menceritakan tentang nasib orang-orang miskin, semata-mata dimanipulasi untuk menarik interese rakyat kecil kepada kekuasaan itu sendiri.

b) Corak Davidik dalam Hebrew Bible.

Hebrew Bible (HB) atau yang kita kenal dengan nama Perjanjian Lama menunjuk pada otoritas Daud. Pada sisi itu, interpretasi Yahudi dan Kristen terhadap HB berbeda. Coote-Coote menulis bahwa: HB memperhatikan tata tertib sosial, hukum dan wewenang bait suci. Orang Yahudi dan Kristen berbeda dalam menentukan wewenang apa yang harus disandang kitab suci,bait suci setelah penghancurannya oleh tentara Romawi pada tahun 70 M. Interpretasi Yahudi menekankan wewenang lokal yang didasarkan atas kepercayaan akan kesinambungan kesucian bangsa dan bait sucinya, meskipun bait suci sudah tidak ada lagi di sana. Interpretasi orang Kristen menerima wewenang kerajaan yang didasarkan pada keyakinan bahwa bait suci dan segala sesuatu yang didukung sudah digantikan oleh peraturan Allah yang akan datang. Hal ini membuat orang Kristen lambat dalam menegaskan wewenang mereka di bait suci, dan siap tuntuk untuk sementara pada, entah senang atau tidak, wewenang Romawi.

Sebagai karya yang lahir dari lingkungan istana Daud, Daud memiliki kepentingan dasar dengan tulisan-tulisan suci itu. Tema teologis yang kuat dalam masa itu ialah berkat dan kutuk dengan pola hukum bersyarat (conditional law) dan hukum tak bersyarat (unconditional law).

Formulasi berkat dan kutuk dilekatkan pada identitas kebangsaan. Mesir diidentikkan dengan bangsa yang mendapat kutuk sebaliknya Israel adalah bangsa yang diberkati. Cerita ini dimulai dari kisah Adam dan Hawa sebagai generasi kutuk. Karena itu mereka diusir keluar dari taman eden, berbeda dengan Abram dan Sarah, sebagai generasi berkat yang mendapat kelimpahan tanah perjanjian. Sejalan dengan itu, Kain dan Habel adalah representasi dari Mesir yang dikutuki, penuh kecemburuan, dan jahat (Kain), dan Israel sebaagi representasi negeri yang diberkati. Sejajar dengan itu, adalah kisah Ismail dan Ishak, atau kemudian Esau dan Yakub adalah reduplikasi cerita Kain dan Habel, yang menggambarkan kisah otoritas Yahweh menentukan yang terbaik menurut “kehendak bebasNya”. Pertentangan Esau dengan Yakub sejak dalam kandungan, dan bahkan kisah penipuan Yakub untuk mendapat berkat dari Ishak tidak diekspos sebagai bentuk penghianatan si adik, melainkan dialihkan secara transhistoris ke otoritas kehendak bebas Allah.

Di samping menegaskan berkat dan kutuk, Daud memiliki kepentingan lain dengan kisah genealogis seperti itu. Tujuannya sederhana, ia sadar bahwa dirinya bukan anak sulung, melainkan si bungsu dari Isai. Oleh sebab itu, kisah-kisah tadi disusun untuk membentuk opini umum, secara politis, bahwa tidak selamanya yang sulung itu berhak atas kekuasaan dalam suku-suku.

Demikian pun komposisi cerita 12 anak Yakub. Sebetulnya merupakan sebuah mithos yang bertujuan untuk mengintegrasikan suku-suku yang menyebar di TransYordan ke dalam satu liga yang besar. Terbaca dari komposisi 12 suku itu, Yehuda sebagai pemegang tampuk kekuasaan “kekal”. Siapa Yehuda itu, tentunya Bani Daud. Oleh sebab itu, ketika kudeta yang dilakukannya terhadap Saul bukanlah sebuah pelanggaran politis, melainkan terjadi karena, sekali lagi, kehendak Yahweh. Kehendak Yahweh ini mendapat justifikasi pada, pertama, Saul bukan keturunan Yehuda, melainkan dari suku Benjamin. Mereka tidak layak menjadi pemimpin atas Israel. Kedua, Saul dipilih berdasarkan undian, dan Yahweh dikisahkan “terpaksa” menyetujui keinginan umat melalui Samuel. Ketiga, tetapi Daud ditunjuk oleh Yahweh, dan langsung menugaskan Samuel untuk menobatkan dia sebagai raja atas Israel.

Kehadiran Samuel pun memiliki makna politis tersendiri. Samuel adala orang Rama di bagian Utara. Kedatangan Samuel dari Utara untuk menobatkan Daud menjadi Raja adalah gambaran figuratif dari ketundukan secara langsung suku-suku di utara kepada kekuasaan Daud.
Tindakan-tindakan politis itu berpengaruh juga dalam tata kultus Yahudi. Daud membangun corak pemerintahan yang sentralistis dengan menjadikan Yerusalem sebagai pusat pemerintahan. Konsekuensinya ialah ia membentuk ideologi Yahwisme sebagai ideologi nasional, dan dengan demikian menjadikan Yahweh sebagai Tuhan nasional, yang kekuasaannya di atas kuasa El-El sebagai Tuhan lokal suku-suku.

Kultus Israel dialihkan ke kultus Yahwisme, dengan menjadikan Yerusalem sebagai pusat kultus. Maka dibangunlah tradisi ziarah. Setiap suku harus berziarah ke Yerusalem. Untuk itu Daud mengambil Tabut Perjanjian dan meletakkannya di dalam kemah suci (tabernakel) di Yerusalem, serta berkeinginan membangun Bait Allah.

Menariknya ialah, semua keinginan politik Daud itu dikemas dalam bentuk tulisan suci, sebagai tulisan-tulisan istana. Tulisan-tulisan ini kemudian disebar kepada semua pejabat elite, demikian juga kepada penguasa-penguasa di sekitar Israel, dan disosialisasikan kepada masyarakat suku.

· Alkitab

Pergumulan politik seputar penulisan Alkitab yang tersaji di atas baru memperlihatkan dasar realita sosial dan beberapa tendensi penulisannya. Saya tidak sempat mengulas seluruh tendensi itu, tetapi saya yakin apa yang tersaji dapat menunjukkan kepada kita corak dasar penulisan Alkitab itu sendiri. Dan itu berlaku surut sampai dengan penulisan Perjanjian Baru. Beberapa hal hendak ditegaskan ialah:

Pertama, sebagai kumpulan tulisan-tulisan, Alkitab adalah sebuah karya teologis. Karya yang memuat dan memformulasi bagaimana orang Yahudi dan juga Yunani-Romawi memahami diri, lingkungan, kontak sosial, tata kehidupan politik, ekonomi, agama, dan kemudian cara mereka memahami Tuhan. Cara itu kiranya menjadi model bagi kita memahami dunia dan konteks hidup kita.

Kedua, pemahaman teologi yang kita anut bahwa para penulis mendapat inspirasi dari Roh Kudus, lalu mereka menuangkannya itu ke dalam bentuk tulisan. Pertanyaannya ialah, apa wujud inspirasi itu. Kalau inspirasi itu berupa kata-kata dan kalimat-kalimat, maka para penulis itu digerakkan tangannya oleh kekuatan terselubung lalu membimbing mereka mengambil alat tulis, pelepah papirus, pergamen, dll, membukanya, dan kemudian menulis kata-kata dan kalimat-kalimat yang diinspirasikan itu. Jika itu yang terjadi, saya curiga, saat mereka menulis kata demi kata atau kalimat demi kalimat, mata mereka terpejam, telinga mereka tertutup terhadap kebisingan lingkungan, mereka berada di dalam sebuah ruangan yang tertutup pintu-jendelanya. Setelah itu, tulisan itu disimpan ke dalam peti, atau diberikan kepada orang lain, yang juga bisa membaca. Tetapi jika inspirasi itu datang dalam wujud kesadaran, kepekaan sosial, perhatian dan solidaritas, tetapi juga keresahan dan keputusasaan, atau malah tangisan dan kesenangan, pasti kita pun bisa menerima inspirasi yang sama dengan para penulis itu. Dengan demikian, apakah tidak mungkin kita juga menghasilkan sebuah tulisan suci dalam konteks saat ini.

Ketiga, dari konstatasi itu, kalau Alkitab itu didefinisikan sebagai Firman Allah, sejauhmana dimensi firmannya itu memiliki rentang kendali kepada manusia sampai saat ini, di berbagai wilayah, di luar Israel Alkitab. Apakah firman Tuhan itu sekali datang kepada Israel Alkitab dan berlaku surut kepada semua bangsa dan semua manusia di sepanjang abad. Bagaimana dengan konteks yang kita hadapi saat ini. Apakah semua sudah difirmankan akan terjadi seperti begitu? Jika demikian maka keagamaan kita tak lebih dari sebuah kisah Film Casandra yang diputar ulang di SCTV.

2. Apa Arti Teologi?

a) Asumsi Awal.

Memahami teologi tidak mesti dimulai dari sebuah definisi yang baku atau standar mengenai “apa teologi” itu? Atau teologi ialah...? Apalagi kalau definisi teologi itu kemudian diuraikan secara etimologis. Orang akan dengan sederhananya mengatakan, teologi terdiri dari kata berbahasa Yunani, yaitu theos, yang artinya Tuhan, dan logos, yang artinya perkataan, ucapan, firman, pengetahuan, dll. Dengan demikian teologi berarti pengetahuan tentang Tuhan.

Hal itu tidak salah, tetapi terlampau menyederhanakan teologi sebagai sebuah ilmu. Penyederhanaan itu telah menyebabkan kesalahan laten, di mana teologi diperangkapkan dalam suatu lingkungan abstrak dan transenden. Kiblatnya diarahkan ke realitas Tuhan yang transenden, bukan meresponi Tuhan yang historis dan imanen. Bahkan seluruh aktifitas manusia pun akhirnya mengarah ke transendensi itu. Keberakaran teologi dalam konteks kehidupan manusia semakin menjadi lemah, sehingga aksentuasi kehidupannya merupakan semacam “credit point” untuk masuk surga.

Tanpa disadari, pemahaman teologi seperti itu telah membentuk perilaku kristiani yang sangat normatif. Apapun yang dilakukan harus berdasarkan pada “hukum-hukum Tuhan” sebagaimana tertuang di dalam Alkitab. Sehingga perilaku Kristisani sangat biblisentris. Tentu tidak salah juga, jika dimaknakkan sebagai pola beragama masyarakat, atau kekhasan suatu kelompok agama. Namun fatalnya, ialah kecenderungan itu telah memunculkan sistem identifikasi diri yang patronis. Orang Kristen, di berbagai tempat – termasuk di Indonesia atau Maluku/ Ambon – telah mengidentifikasi dirinya sebagai Israel “baru”. Sebagai Israel “baru” itu, seluruh fantasi kehidupan dan keagamaannya diarahkan sama dengan Israel di Palestina dalam seluruh sejarah kehidupannya. Dari situ tampak bahwa teologi – yang selama ini di anut – gagal melahirkan sebuah pengenalan dan identifikasi diri yang kontekstual. Teologi gagal membangun mentalitas bergama yang kontekstual, sebagai produk lingkungan di mana ia hadir. Mentalitas beragama yang di anut justru sebuah reduplikasi atau foto copy yang suram terhadap konteks beragama dan dari mana agama itu datang/lahir, atau tempat asal peziarah/penginjil. Dalam kenyataan seperti itu, tidak mengherankan jika sampai saat ini orang Kristen lebih suka diidentikan dengan Israel dan lingkungan Palestinanya (bnd. Ideologi tanah Kanaan), atau orang Islam dengan identitas Arabnya.

b) Perspektif Berteologi

Teologi dengan aspek-aspek seperti yang diuraikan -dalam konsep keilmuannya- dapat disebut sebagai teologia naturalis, yaitu refleksi filsafat tentang dasar dan tujuan terakhir dari “mengada” kita. Dalam kerangka itu, John B. Cobb - sebagai usaha menjelaskan kerangka filsafat naturalisnya Alfred Whitehead – menjelaskan bahwa teologi dalam arti itu ialah pernyataan-pernyataan yang koheren tentang hal-hal yang utama yang diakui sebagai sebuah perspektif yang diterima dari suatu komunitas iman. Contohnya, seorang Kristen akan dengan jelas berbicara tentang Yesus Kristus dan makna keberadaan kemanusiaannya, mengakui bahwa persepsinya mengenai peristiwa-peristiwa Kristus (Christ event) merupakan hal yang penting bagi gereja Kristen. Praktik tersebut dilakukan pula oleh raa wiyon-na wofle di Maybrat, Imian, Sawiat, tentang iman percaya mereka kepada wiyon-wofle. Dengan demikian, setiap pembicaraan (Gereja) yang memiliki referensi terhadap Kristus (atau ke Alkitab) itu disebut teologi, sebaliknya jika tidak memiliki refereni ke peristiwa Kristus, tidak dapat disebut teologi. Atau jika tidak memiliki akses ke dalam komunitas gereja, juga tidak dapat disebut teologi.

Hal yang sama berlaku, bahwa semua formulasi teologi harus konkruen dengan rumusan pengakuan gereja, tradisi gereja, Alkitab, dan rumusan-rumusan pendapat bapa gereja yang berabad-abad yang lampau. Hal-hal itu telah dipahami sebagai acuan untuk berteologia, atau bahkan sumber dari teologi itu sendiri.

Cobb, mengkritik corak definisi teologi seperti itu. Baginya sebuah acuan definitif bukan menunjuk pada apa yang salah dan benar, melainkan pada apa yang berguna dan tidak perlu digunakan. Sehingga dari definisi teologi naturalis tadi, Cobb mengatakan ada empat hal yang perlu diluruskan, pertama, ada perbedaan antara teologi dan sebuah usaha mempelajari agama secara obyektif. Tetapi ada orang yang hendak menghapus perbedaan ini dan mengidentifikasi teologi dan semua studi agama. Perhatian di sini diberikan pada pengertian mengenai Tuhan, manusia, sejarah, alam, kebudayaan, moral dan takdir. Kepercayaan itu membuat mereka menyebutnya sebagai kepercayaan agama, tetapi untuk banyak hal mereka tidak percaya mengenai agama.

Kedua, definisinya mengenai teologi tidak dapat dibedakan oleh unsur-unsur dasar dari pemikiran yang lain. Walau demikian perbedaan itu tidak dapat dihindari, khususnya pemaknaan mendalam mengenai eksistensi kemanusiaan. Jika dikaitkan dengan kerangka teologi prosesnya, pada sisi inilah Cobb hendak menekankan pentingnya aktivitas manusia dalam apa yang disebutnya actual occasion atau occasion of experience. Manusia bertindak setiap hari, dan mewujudkan semua cita-citanya (subject aim) melalui berbagai aktifitas (creative aim). Dalam aktifitas itu dia tidak digerakkan oleh Tuhan laksana robot, melainkan Tuhan mengontrol dan mengantarnya mencapai tujuan utama yang disebutnya sebagai the initial aim.

Ketiga, definisi teologi Cobb tidak memiliki refernesi mengenai Tuhan. Tentang hal itu dijelaskannya bahwa “teologi” sebagai doktrin tentang Tuhan tetap eksis sebagai cabangan dari filsafat dalam artinya itu. Namun teologi di sini merupakan sebuah usaha berproses dengan usaha-usaha untuk mengartikulasikan iman Kristen, dari pada usaha menjelaskan tentang Tuhan. Teologi terwujud dalam pekerjaan dan aktifitas keseharian manusia, siapa pun dia. Teologi seperti itu tidak ada dalam konstatasi yang suci atau sakral. Dimensi hisup manusia tidak harus diklarifikasi antara yang suci atau sakral. Jika teologi bersikukuh dalam lingkungan itu, ia menjadikan dirinya sebagai sebuah “pope work” (kerja para imam), dan bukan “what people deeds” (apa yang dilakukan manusia –berteologi/in doing theology).

Keempat, teologi itu adalah apa yang dilakukan oleh jemaat secara murni/asli. Tentunya berupa refleksi teologi sebagai anggota jemaat/masyarakat mulai dari kelompok masyarakat perdana yang kemudian memandu munculnya pandangan-pandangan atau pengalaman agama yang baru. Dalam kaitan itu teologi adalah usaha berkelanjutan, dan tidak terputus di satu titik tertentu apalagi harus stagnan dan tidak berkembang. Teologi tidak memiliki label tunggal, tetapi akan terus berkembang dan berubah menuju formula dan bentuk pengetahuan serta pengalaman yang baru atau unik.

Kerangka pikiran tersebut merupakan gambaran mengenai duduk perkara teologi dalam khazanah ilmiah. Bahwa dalam kerangka itu berbagai trend teologi bermunculan. Mulai dari teologi konvensional, tradisional, kemudian berkembang ke arah teologi kontekstual dalam berbagai perspektif seperti teologi liberal (Amerika Latin), minjung (Korea), da-lit/orang miskin (India), teologi leluhur (Australia), teologi kerbau (Thailand), dan ragam formulasi teologi lainnya.

Muncullah trend teologi-teologi itu memperlihatkan, bahwa berteologi adalah sebuah usaha berkelanjutan (continuity), tetapi sekaligus juga keterputusan (discontinuity). Berkelanjutan sebab teologi harus bergumul dalam iman yang sudah ada dan bertitik tolak dalam iman itu. Dari situ iman itu dinyatakan. Dia adalah suatu kegiatan yang terlibat (participate). Akan tetapi juga keterputusan, karena melalui teologi itu iman harus dirumuskan dalam suatu pandangan (thought). Dengan demikian dalam teologi ada dimensi partisipasi, refleksi dan ekspresi.

Sisi partisipasi refleksi mengandaikan teologi dalam pengertian praktis, menyangkut pemberlakuannya di dalam kehidupan nyata. Bahasan yang sering digunakan adalah “berteologi/in doing theology”. Pada sisi itu teologi merupakan keterlibatan langsung manusia di dalam lingkungan sosialnya. Sedangkan sisi ekspresi menempatkan teologi dalam kerangka ilmu yang memiliki standar-standar akademis yang jelas. Ia adalah disiplin ilmu yang diajarkan setiap orang, memiliki perspektif dan paradigma tertentu, dan selalu terbuka pada perkembangan dunia ilmu itu sendiri.

Dari situ tergambar, bahwa teologi tidak dapat dibatasi hanya pada dimensi keagamaan. Teologi yang dibatasi pada dimensi keagamaan akan terjebak dalam moralisme yang naif. Ia akan cenderung verbalis, atau juga biblisentris. Kemungkinannya untuk terbuka pada realitas keseharian manusia cukup sempit, karena telah ada norma dasar yang mau tidak mau harus diikuti oleh setiap orang. Dalam batasan itu, seluruh perilaku umat dituntut agar harus sesuai dengan kitab suci.

Pada tataran beragama, corak berteologi seperti itu hanya akan melahirkan pola pemikiran dan tindakan yang fundamentalis, fanatisme dan verbalisme. Akhirnya kelompok yang menganut cara berteologi itu cenderung ekslusif, tidak terbuka bagi orang atau pikiran lain yang berbeda darinya.

Sebagai sebuah ilmu, teologi itu terbuka bagi kritik, pembaruan, perkembangan secara epistemologi dan metodologis. Teologi merupakan pergumulan kembar antara teks dengan konteks, sebuah dialektika transformatif di dalam seluruh dimensi keberadaannya. Ia terbuka dan selalu mengarah ke konteksnya. Ia ditemukan dan berkembang melalui kemampuan refleksi manusia di dalam dan terhadap konteks keseharian (daily activity). Oleh sebab itu ia ada dalam sejarah, berkembang bersama sejarah itu, mengalami sejarah, dan menentukan sebuah sejarah. Teologi merupakan sebuah peristiwa historis. Historitasnya ditandai oleh kepekaan dan kesediaannya terhadap dan untuk selalu berubah.

Prinsip perubahan dalam sejarah tidak lalu mengkonstitusikan sebuah teologi itu relativ (relativism), melainkan kontekstual transformatif. Kontekstual, karena teologi merupakan cara Gereja menjawab tantangan konteksnya. Ia merupakan perintah (imperative), bukan pilihan (option) bagi Gereja dalam rangka melakukan dialog dengan perubahan yang ada.

Transformatif, sebab pembaruan yang benar-benar baru hanya bisa dicapai dengan kesadaran untuk melepaskan “yang lama” dalam kesadaran untuk menuju pada apa yang ideal. Ia dapat terjadi dengan jalan melakukan dekonstruksi terhadap berbagai unsur yang lama. Bukan karena “yang lama” itu tidak penting atau salah, melainkan harus ada sinergitas antara formulasi beriman dengan perkembangan kemasyarakatan. Semua itu harus terjadi karena teologi tidak memiliki inventarisasi data yang baku/ konstan. Data teologi ada dalam pergumulan tetap dengan sejarah. Bahkan berubah seturut alur perubahan sejarah itu. Oleh sebab itu, transformasi penting dijadikan perspektif menuju sebuah teologi baru. Transformasi itu berjalan linear, dan selalu bergerak dalam perubahan. Ia berkembang maju – ke depan – walau tidak terlepas dari pergumulan awal – menuju pada tujuan utama (initial aim) yang dicita-citakan.

Kontekstual transformatif, merupakan jawaban atas seluruh kebutuhan perubahan melalui pembenahan pemahaman, visi, isi, bentuk, strategi dan struktur berteologi. Semua itu berlangsung dalam dialog dengan konteks.

Dari situ sebetulnya teologi kontekstual merupakan jawaban. Namun kontekstualisasi itu sendiri harus merupakan usaha progresif dengan selalu terbuka pada data baru, bukan rumusan iman yang telah ada semata yang lalu dilihat sisi kontekstualnya.

Seperti contoh, ada kesan bahwa teologi kontekstual itu apabiloa kita melakukan kajian terhadap unsur-unsur kebudayaan baik secara dogmatis, liturgis, etis, dan berbagai pendekatan lain. Sehingga sering ditemui karya teologi yang membawa unsur-unsur budaya (sperti perkawinan, konsep-konsep budaya mengenai Tuhan (Upu Lanite/ Tete Manis, dll), atau sistem adat lainnya. Dari data-data itu lalu dibuatlah sebuah relevansi kontekstual, dengan pertanyaan-pertanyaan seperti “apakah sistem perkawinan adat itu masih relevan denganb konteks kini?” atau apakah konsep kepercayaan kepada Upu Lanite atau Tete Manis itu tidak bertentangan dengan iman Kristen mengenai Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus sebagaimana adanya kini? Pada sisi itu sebetulnya karya teologi kontekstualnya tetap konvensional.

Ada kecenderungan bahwa data teologi kontekstual adalah “warisan” budaya yang dimiliki oleh masyarakat. Sehingga tidak jarang terdengar bahwa “tidak ada lagi data untuk kajian teologi kontekstual”, karena “semuanya sudah dikaji”. Anggapan ini cenderung mengartikan data teologi kontekstual sebagai “pengalaman masa lampau”. Padahal data teologi kontekstual itu juga meliputi berbagai fenomena sosial masyarakat yang aktual, mengenai perubahan tata sosial masyarakat pergeseran paradigma ekonomi, pertentangan dan perubahan tata politik negara, kecenderungan psikologis dan perubahan paradigma berpikir suatu masyarakat. Teologi adalah juga apa yang dilakukan masyarakat setiap hari dalam seluruh realitas kerjanya.

c) Kesan Metodologis dalam Pendekatan Teologi

Bagian ini akan memaparkan sisi metodologis dalam teologi atau berteologi. Agar tidak kebablasan coba diuraikan dalam pola pendekatan dalam teologi, perspektif-perspektif dalam teologi, metode-metode dalam teologi. Semua itu akan bermuara pada usaha menyusun sebuah panduan metodologi penelitian bidang teologi. Sebagai panduan, kerangka metodologi yang tersaji nanti merupakan tools untuk mengerjakan penelitian bidang teologi.

a. Pendekatan dalam Teologi

Norman K. Gottwald, dalam salah satu bukunya, “The Politics of Ancient Israel”, (2001) menyebut ada dua corak pendekatan, yang dinamakannya dengan hukum dua penyebab (dual causality principle). Dua penyebab itu adalah divine system (pendekatan yang mengarah pada dimensi ke-Tuhanan) dan human system (pendekatan kemanusiaan).

· Divine System.

Sistem ini menggambarkan dunia dalam bentuk lingkaran atau gerak dunia adalah sebuah gerak siklis, dari satu titik, ke titik yang lain, dan kembali lagi ke titik semula. Nampak bahwa Tuhanh berada di atas semua elemen kemanusiaan. Otoritas Tuhan berada di atas semua elemen kemanusiaan, dan bisa juga otoritas organisasi (Gereja). Sementara masyarakat (umat beragama) berada pada lintang horisontal dan berhadapan lingkungan dan mengarah ke Tuhannya. Dalam kedudukan itu, masyarakat menanggapi konteksnya serta bertindak sesuai dengan amanat otoritas di atasnya (Tuhan). Ia mengemban tugas pemberitaan atau penerjemahan Injil kepada penerimanya. Tugas itu dilaksanakan dengan memanfaatkan semua media yang tersedia, terutama bahasa setempat, media budaya (mis. Upacara dan simbol-simbol adat), agama, sosial, media massa (elektronik dan cetak), dll. Ketika menerima amanat, muncul sikap, perilaku, watak masyarakat terhadap dunia, serta corak pemahaman mengenai Tuhan.

· Human system.

Berbeda dengan sistem 1, di sini dunia diibaratkan sebagai sebuah lintang linear yang bergerak ke depan. Masyarakat menempati lingkup utama dunia. Masyarakat berada dalam sebuah konstruksi plural, terdiri dari berbagai latar belakang agama, ras, budaya, bahasa, politik, profesi, dll. Dalam konteks kemajemukan itu, teologi ada dan mengalami dinamika yang sama dengan dinamika masyarakat. Teologi merupakan citra kontekstual yang historis dan berkembang dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu mesti dimengerti dalam kerangka imanensi, yaitu kehadiran secara eksistensial dalam kehidupan masyarakat manusia. Dalam arti itu, teologi juga dimiliki secara bersama oleh masyarakat yang berbeda-beda, dengan cara berbahasa yang sesuai dengan konteks masing-masing.

Teologi tidak mengacu dari “amanat”, melainkan karena kesadaran dan pengalaman kesehariannya, ia merumuskan visi, strategi, bentuk dan cara-cara yang tepat dalam berteologi. Dalam usaha itu, teologi berhadapan dengan tantangan konteks, berupa perubahan sosial yang bergerak dari waktu ke waktu. Akibatnya terbentuklah corak pemahaman masyarakat mengenai lingkungan, sesama dan Tuhan. Teologi pada awalnya adalah refleksi manusia mengenai diri, sesama dan lingkungannya. Refleksi itu yang kemudian menentukan pemahamannya mengenai otorita di atasnya, yaitu otorita dan realitas Tuhan.

Gambaran Gottwald, tersebut menjelaskan kepada kita bahwa kedua corak berpikir itu terus mewarnai teologi kita. Tanpa sadar kita terlalu jatuh berat pada satu (terutama divine system), sehingga teologi kita cenderung spiritualis; hilang konsentrasi sosialnya.

b. Beberapa Perspektif dalam Teologi.

Perspektif tua dalam teologi kita adalah perspektif naturalis, yaitu refleksi filsafat tentang dasar dan tujuan kahir dari “mengada kita”. Ia berkisar antara tema-tema penciptaan, pemeliharaan, pemulihan dan penebusan, atau dengan gamblang membentang sejarah penyelamatan (heilsgeschichte).

Sambil mengembangkan kerangka filsafat proses Whitehead, Cobb mengartikan teologi naturalis itu sebagai kisaran diskursus seputar pernyataan-pernyataan seperti pengakuan iman, kitab suci, dan rumusan-rumusan lainnya seperti diucapkan oleh para teolog di masa lampau. Cobb tidak menyangkali pentingnya corak itu. Bahkan baginya semua pandangan itu perlu bukan untuk menentukian mana yang salah dan benar, tetapi mana yang berguna dan dapat digunakan. Kesan lebih bahwa hal-hal itu kiranya dijadikan sebagai perspektif dalam berteologi. Sebab memutlakkan unsur-unsur itu sebagai dasar teologi adalah salah kaprah. Hal-hal itu merupakan bagian dari studi agama. Teologi mesti dibedakkan dari studi agama; sebab tujuan studi agama supaya orang memahami doktrin-doktrin agama itu, ia merupakan salah satu saja unsur dalam teologi menurut agama tertentu.

Mengingat terbatasnya perspektif naturalis itu, kemudian berkembang perspektif-perspektif baru dalam berteologi. Orang lalu mengembangkan seperti perspektif fenomenologis, dan kemudian fenomenologi sejarah dalam teologi. Usaha-usaha Mircea Eliade, Evans-Pritchard, dll ke dalam perspektif ini sebetulnya merupakan usaha mengembangkan studi antropologi dan sosiologi agama. Mereka kemudian tiba pada sebuah fakta kemanusiaan dan kemasyarakatan yang memerlukan pendasaran sejarah budaya sebagai tools untuk melihat sebetulnya sejarah kepercayaan masyarakat.

Mengenai hal itu para pendahulu mereka seperti Freud, James Fowler, atau juga Piaget dan Kohlberg, telah mengedepankan perspektif Psikologis dalam rangka memahami dimensi kepercayaan manusia itu. Perspektif sosiologis kemudian mewarnai dunia teologi dan/ atau agama-agama. Perspektif ini cenderung melihat sisi sosial kehidupan masyarakat sebagai “locus theology” yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan terutama berkembang dalam lingkungan agama-agama, termasuk dijadikan semacam tools dalam rangka menafsir kitab suci.

Dalam perkembangannya, perspektif teologi itu muncul seiring dengan perkembangan kontemporer masyarakat. Di sini dapat dilihat seperti teologi developmentisme, teologi feminim, atau gender, atau teologi dunia ketiga, dll. Perspektif-perspektif itu memperlihatkan bahwa perubahan dalam berteologi signifikan dengan perubahan metodologi itu sendiri. Dengan demikian apa pun argumentasinya, metodologi dalam teologi memainkan peran kunci dalam rangka mengembangkan dan membarui teologi itu sendiri.

c. Metode-metode dalam Teologi.

Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa teologi merupakan sebuah fenomena fenomenologis. Ia dipahami, dicari, dikembangkan, dirumuskan, diberlakukan, diuji, dirumuskan ulang, dst. Refleksi teologi adalah refleksi berproses dengan lingkungan, refleksi di dalam sejarah yang selalu berkembang. Hardiyanto, menjelaskan bahwa dari apa yang dipikirkan, dipahami, dst itu terlihat bahwa yang terjadi itu dikerjakan secara sistematis, dengan metode-metode yang disempurnakan, dan dalam suatu dialog yang meliputi seluruh dunia beriman.dari sana nyata bahwa kita sudah melakukan teologi sejak kita mulai berpikir mengenai iman, meskipun dalam bentuk yang spontan, sedikit banyak kebetulan, tidak secara sistematis dan ilmiah. Dengan demikian teologi mengintegrasikan iman kita ke dalam kehidupan kita sebagai subyek yang berkepribadian, yang berpikir dengan bebas. Jadi (a) kalau kita ingin ikut-serta dalam fenomen sosial yang disebut teologi Kristen, kita diarahkan kembali secara refleksif ke iman, dan dengan demikian ke kenyataan eksistensial kita yang paling dalam; (b) kalau kita ingin memenuhi keperluan eksistensial yang termuat dalam iman, kita merealisasikan iman sebagai pribadi yang bebas dan berpikir, maka kita mengembangkan hal atau kegiatan teologi.

Pada tataran itu penting diketahui metode-metode dalam teologi. Ini penting dalam rangka menjaga jarak kritis antara teologi dengan lingkungannya, serta membuat peta yang jelas tentang sisi teologi dan sisi agama. Kunci menggunakan metode dalam teologi adalah (a) untuk menghayati dialektika teks dan konteks, atau wahyu dan isi wahyu; (b) sebagai jembatan penghubung antara subyek yang berteologi dengan obyek teologi itu; (c) untuk mengasimilasikan wahyu dalam rangka memahami peristiwa (the fact) dan makna (the meaning) dari peristiwa tertentu.
Dengan demikian ada tiga metode dalam teologi, yaitu:

1) Metode historis; yang akan menentukan fakta; dan oleh karena fakta diketahui melalui dokumen-dokumen: metode akan menentukan keotentikan dan bentuk asli (kritik teks) dari dokumen-dokumen tersebut.

2) Metode hermeneutis; pertama-tama akan menentukan arti dari dokumen-dokumen itu (eksegesis teks), lantas mencari arti yang paling dalam baik dari kesaksian dokumen-dokumen maupun dari peristiwa-peristiwa sendiri.

3) Metode antropologis; yang diperlukan untuk mencapai pengertian tentang subyek manusiawi dan dunianya; dalam bidang ini semua bidang ilmu manusia, yang berpusatkan pada filsafat manusia yang utuh, menyumbangkan hasilnya pada teologi.

Ketiga metode itu tidak dapat dilepaspisahkan, melainkan mesti digunakan secara mutual, dalam arti saling mengisi. Walau demikian, setiap metode mesti dikerjakan sesuai dengan kaidah metode masing-masing.

Teologi menggunakan metode historis, hermeneutis dan antropologis dari ilmu-ilmu lain, dan dalam cara menggunakannya juga tidak berbeda dengan ilmu-ilmu yang lain itu. Teologi menentukan suatu fakta historis, keotentikan atau bentuk asli atau arti dari suatu dokumen, struktur dari suatu kegiatan atau institusi manusiawi, tepat seperti ilmu-ilmu lain itu bekerja. Yang paling-paling dapat dikatakan khusus dalam teologi ialah bahwa penggunaan dan perjalanan langkah demi langkah dari metode-metode itu ditentukan oleh intensi iman, dan diarahkan ke kesatuan yang ditentukan oleh iman. Dengan perkataan lain, terhadap metode-metode, iman berlaku sebagai asas pembentuk, yang menyatukan dan menghidupkan.

Dengan demikian teologi merupakan usaha refleksif, metodis dan sistematis, yang akan mengasimilasikan dan mengekeplisitasikan wahyu ilahi secara manusiawi; usaha refleksif, metodis dan sistematis yang akan menerima wahyu ilahi dengan pengertian (fides in statu scientiae). Teologi memakai metode historis, hermeneutis dan antropologis, menurut hukum-hukum dari metode tersebut dalam ilmu-ilmu lainnya. Semua metode tersebut lantas dipersatukan dan diarahkan oleh intensi teologi, yaitu pemahaman iman.

Read more...

ANTROPOLOGI BUDAYA DAN TRANSFORMASI IMAN


2010 Copyright Institut Leimena


2010 Copyright Institut Leimena


2010 Copyright Institut Leimena

ANTROPOLOGI BUDAYA DAN TRANSFORMASI IMAN


oleh

Hamah Sagrim


A. Kritik dan Saran.

Hendrik Kraemer telah melakukan kritik halus terhadap imperialisme agama dalam gerakan penginjilan. Kritiknya itu didasarkan pada perilaku para misionaris yang melawan berbagai praktek ‘agama asli atau Agama Suku’ (tribal religion).

Kecenderungan imperialisme agama itu disentil Anton Quack, karena menurutnya hal itu membuat orang menjadi miskin. Selalu ada ketegangan di antara para misionaris dan para antropolog: terbanyak ketegangan itu disebabkan oleh syakwasangka. Dua kutub ini dalam jangka waktu yang lama terkesan ‘tidak akur’.

Paul Hiebert menyebut relasi itu laksana ‘relasi cinta tapi benci’. Padahal dari para misionaris, kita banyak mendapat gambaran etnografi mengenai suatu masyarakat. Hasil kerjaWilhelm von Rubruk, Bernardino de Sahagun dari ordo Fransiskan (1215-1270) adalah gambaran berharga mengenai bangsa-bangsa Asia Pedalaman. Wilhelm E. Muhlmann, malah patut disebut sebagai misionaris-etnograf, yang laporannya mencuat karena kesetiaannya dalam pengamatan dan semangat ilmiahnya yang asli.

Misionaris lain adalah Joseph Fancois Lafitau (1681-1746), diakui bapa antroplogi perbandingan, karena karyanya “Adat-istiadat bangsa Amerika asli, dibandingkan dengan adat-istiadat masa-masa awal” (1724). Lafiatu juga mengecam dengan tajam para misionaris lain yang dinilainya sama dengan pelancong-pelancong lain, yang penuh dengan syakwasangka, tidak mahir berbahasa setempat, dan kurang memahami budaya asing.

Sejak awal, para misionaris telah menerima tesis tentang universalitas umat manusia. Meskipun demikian, para antropolog menuduh para misionaris sekurang-kurangnya dalam praktik, tetapi beranggapan bahwa budaya kristen, yakni Barat, lebih tinggi. Para misionaris yakin bahwa kebudayaan kristen mereka sendirilah yang lebih baik dan lebih tinggi dibandingkan kebudayaan bangsa-bangsa ke mana mereka dikirim.

Kesan paling radikal dari kalangan antropolog adalah para misionaris diperlat oleh penjajah. Para ahli sejarah membenarkan hal itu karena para misionaris Protestan dan Katolik harus mengambil bagian dalam kongers-kongers kolonial Jerman. Karena itu mereka bukan hanya disebut diperalat penjajah, tetapi juga membonceng pada kekuasaan penjajah, yang melayani usaha karya misi, baik secara sadar maupun tidak. Hal itu karena para misionaris dan penjajah berasal dari latar belakang budaya yang sama, dan memiliki keyakinan yang sama bahwa budaya Barat lebih unggul. Tugas mereka adalah untuk menyebarkannya ke daerah jajahan. Dengan demikian saya dapat memberikan suatu kesimpulan dalam pandangan ini bahwa, agama-agama moderen adalah perahu tumpangan jajahan, bahkan selebihnya agama-agama juga bisa disebut sebagai organ penjajah yang di ekspansikan ke wilayah-wilayah jajahan dengan memakai nama Tuhan sebagai hiburan yang mengina bobokan mereka yang di jajahi.

Para antropolog juga telah menyimpulkan tindakan para misionaris itu, yang mana disemangati juga oleh ideologi ‘perubahan budaya’. Di sini para misionaris dilihat bukan sebagai ‘agen perubahan’ melainkan sebagai pengantara di antara kebudayaan. Mereka menganggap budaya pribumi sebagai tabula rasa (papan putih) sejauh menyangkut agama.

Kritik para antropolog adalah bahwa para misionaris mengubah dan mengganggu budaya sekurang-kurangnya harus mendorong para misionaris bertanya kepada diri sendiri, apakah mereka mempunyai hak untuk mengubah suatu kebudayaan. Apa yang memberi kepada para misionaris hak untuk campur tangan dengan kebudayaan tertentu? Apakah kriterianya untuk ini? Pastilah dalam hubungan dengan para misionaris, ketidaktahuan dapat melahirkan kesalahan.

Dalam mengatasi ketegangan itu, tindakan inkulturasi merupakan jawabannya. Istilah ini muncul pertama kali dalam bahasa Perancis (1953) sebagai kata terjemahan dari istilah Inggris ‘enculturation’, yang mempunyai pengertian sangat mirib dengan istilah Jerman ‘Sozialisation’. Pendekatan inkulturasi ini dijembantani, secara keilmuan, dengan pendekatan lintas budaya (cross culture). Dengan kata lain, usaha inkulturatif mengandaikan kemampuan untuk membedakan kekristenan dari ‘pakaian’ budayanya (seringkali terutama budaya sang misionaris sama itu sendiri). Hal itu bukan merupakan sesuatu yang mudah. Ini setara dengan kritik injil. Dalam pendekatan inkulturatif, kritik kebudayaan dalam terang injil bertujuan untuk pemerdekaan semua manusia dan mempromosikan suatu kemanusiaan yang sejati. Sebenarnya dapat terlihat dengan jelas bahwaybrat, Imian, Sawiat, Papua seperti ‘kue lapis’, atau ‘varnish’, suatu lapisan tipis di atas lapisan agama asli yang sangat kuat. Ini terlihat dengan jelas bahwa adanya perbedaan cara pandang. Misionaris mewakili cara pandang Barat yang bertumpu pada Filsafat Yunani, lalu memandang orang-orang di Timur (Maybrat, Imian, Sawiat) sebagai yang kurang beradab dibanding orang Barat. Jadi proses penginjilan ini serentak dengan penjajahan (dalam arti politis) terjadi juga penjajahan dalam arti religius. Idiomatik ‘siapa punya negara dia punya agama (cuis regio,euis religio – Pasal 36 Pengakuan Iman Belanda)’ malah menjadi semacam teologi para misionaris yang berkolaborasi dengan penjajah. struktur iman Kristen orang Ma

B. Aspek Antropologi Institusi Sebagai Frame Perilaku Manusia

Keluarga – frame dasar perkembangan perilaku manusia. Para antropolog seperti J. Lubbock, J.J. Bachofen, J.F. McLennan, G.A. Wilken, dll, pada tingkat pertama dalam proses perkembangan masyarakat dan kebudayaannya, manusia mula-mula hidup mirip sekawanan hewan berkelompok, dan pria dan wanita hidup bebas tanpa ikatan. Kelompok keluarga inti sebagai inti masyarakat karena itu juga belum ada. Lama-lama manusia sadar akan hubungan antara seorang ibu dan anak-anaknya, yang menjadi satu kelompok keluarga inti, karena anak-anak hanya mengenal ibunya, tetapi tidak mengenal ayahnya. Dalam kelompok seperti itu ibulah yang menjadi kepala keluarga. Perkawinan antara ibu dan anaknya yang berjenis pria dihindari, sehingga timbullah adat eksogami. Keturunan kemudian dihitung dari garis ibu (matrilineal).

Studi antropologi pun melihat perkembangan daur hidup manusia, mulai dari masa bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa puber, masa sesudah menikah, masa kehamilan, masa lanjut usia, dll. Pada masa peralihan antara satu tingkat kehidupan ke tingkat berikutnya, biasanya diadakan pesta atau upacara dan sifatnya universal, dengan maksud bahwa seseoarang telah masuk ke dalam suatu lingkungan sosial yang baru dan lebih luas.

Suatu tahapan penting dalam daur hidup manusia itu adalah perkawinan. Dalam kebudayaan, perkawinan merupakan pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan kelaminnya. Perkawinan (eksogami ) membatasi seseorang untuk bersetubuh dengan lawan jenis lain selain suami atau istrinya. Selain sebagai pengatur kehidupan kelamin, perkawinan berfungsi juga untuk memberi perlindungan kepada anak-anak hasil perkawinan, memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup, memenuhi kebutuhan akan harta dan gengsi, memelihara hubungan baik dengan kelompok-kelompok kerabat tertentu.

Perkawinan juga membawa akibat-akibat yang sangat luas. Dua orang menikah, mula-mula adalah warga dari kelompok kekerabatan yang berbeda dalam masyarakat. Oleh karena itu ikatan perkawinan tidak hanya berakibat pada kedua individu terebut, tetapi juga pada keturunan mereka.

Salah satu akibat dari pernikahan itu adalah adat menetap sesudah menikah. Dalam budaya masyarakat, ada tujuh jenis adat menetap sesudah menikah yang diutarakan oleh para antropologi:

1. Adat untolokal, yang memberi kebebasan kepada sepasang suami-istri untuk memilih tinggal di sekitar kediaman kaum kerabat suami atau di sekitar kediaman kaum kerabat istri;

2. Adat virilokal, yang menentukan bahwa sepasang suami-istri diharuskan menetap sekitar pusat kediaman kerabat suami;

3. Adat uxorilokal, yang menentukan bahwa sepasang suami-istri harus tinggal sekitar kediaman kaum kerabat istri;

4. Adat bilokal, yang mengharuskan bahwa sepasang suami-istri diwajibkan tinggal di sekitar pusat kediaman kerabat suami pada masa tertentu dan di sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri pada masa lainnya;

5. Adat neolokal, yang menentukan bahwa sepasang suami-istri menempati tempatnya sendiri yang baru, dan tidak mengelompok bersama kerabat suami atau istri;

6. Adat avunkulokal, yang mengharuskan sepasang suami-istri menetap sekitar tempat kediaman saudara pria ibu (avunculus) dari suami;

7. Adat natolokal, yang menentukan bahwa suami dan istri masing-masing hidup terpisah, di antara kaum kerabatnya sendiri-sendiri.

Perkawinan kemudian berdampak langsung pada pembentukan keluarga atau rumah tangga. Dalam kebudayaan atau sosiologi, ada yang disebut:

1. Keluarga inti; termasuk di dalamnya adalah suami, istri dan anak-anak mereka yang belum menikah. Anak tiri dan anak yang secara resmi diangkat sebagai anak memiliki hak yang kurang lebih sama dengan anak kandung, dan karena itu dapat dianggap sebagai anggota keluarga inti.

2. Keluarga luas; yang merupakan kesatuan sosial yang sangat erat ini selalu terdiri dari lebih dari satu keluarga inti. Warga keluarga luas umumnya masih tinggal berdekatan, dan seringkali, bahkan masih tinggal besama-sama dalam satu rumah. Keluarga luas juga terdiri dari keluarga luas utrolokal (berdasarkan adat utrolokal), yang terdiri dari satu keluarga inti senior dengan keluarga inti anak-anaknya, baik yang pria maupun wanita; keluarga luas virilokal, yang berdasarkan pada adat virilokal dan terdiri dari keluarga inti senior dengan keluarga inti dari anak-anak laki-lakinya; keluarga luas uxorilokal, berdasarkan adat uxorilokal, yang terdiri dari keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga inti dari anak-anak wanita.

Dalam berbagai masyarakat, ikatan keluarga luas sedemikian eratnya sehingga mereka tidak hanya tinggal bersama dalam satu rumah besar, tetapi juga merupakan satu rumah tangga dan berbuat seakan-akan mereka merupakan satu keluarga inti yang besar.

Keluarga besar; adalah kelompok kekerabatan yang terdiri dari semua keturunan dari seorang leluhur, yang diperhitungkan melalui garis keturunan pria atau wanita, sehingga ada klen besar patrilineal dan klen besar matrilineal. Lht. J. Lubbock, The Origin of Civilization and the Primitive Condition of Man, London: 1873. Menurut teori ini, masyarakat pada awalnya berbentuk matrilineal. Patrilineal kemudian baru berkembang seiring dengan kolonialisme yang lebih menerapkan budaya dominasi dan paternalistik yang mapan.

Bentuk-bentuk upacara itu dikenal juga di Maybrat, Imian, Sawiat, Papua seperti ritus minangmfot bofot) dan finya migiar (didikan wanita untuk persiapan minang) masa peralihan anak ke remaja dalam masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat seperti ini sangat kental dan penuh kedisiplinan. Bentuk-bentuk ritus ini dilaksanakan sekaligus untuk membedakan sex anak. Selain eksogami, ada juga bentuk perkawinan lain yang disebut endogami. (

C. Karakter Manusia dan Perbedaan Budaya.

Bahasan Bourguignon dalam bukunya difokuskan pada kecenderungan perilaku manusia (individu dan masyarakat) dibentuk oleh kebudayaan masyarakat setempat. Karena itu perbedaan-perbedaan secara tipikal pada perilaku tertentu adalah hasil bentukan kebudayaan, dan tidak terjadi semata-mata karena faktor psikologis manusia. Teori ini sebenarnya yang dimaksudkannya dengan Psychological Anthropology (antropologi psikologi), sebagaimana mewarnai bukunya ini.

Bourguignon memulai dengan menyajikan peta perilaku anak-anak dalam tiga rumpun kebudayaan yang berbeda, yakni Amerika Serikat, Prancis dan Haiti. Menariknya ialah, kejadian (event) yang diambilnya adalah perkelahian atau bentuk agresi fisik (physical aggression) di kalangan anak-anak pada ketiga rumpun kultur itu. Di Amerika, suatu waktu ditemui, dalam penelitiannya, dua anak laki-laki yang berkelahi di tengah jalan pada saat pergi dan pulang sekolah. Tampak seorang anak memukul temannya, dan kemudian berlari meninggalkan temannya yang dipukuli itu. Sementara di Pyrane, sebuah desa di Selatan Prancis, dua anak kedapatan berkelahi. Seorang anak memukuli temannya, dan kemudian meninggalkan temannya itu. Seorang lainnya mendekati anak yang dipukuli itu, lalu melihat keadaannya, dan kemudian meninggalkannya juga. Sedangkan seorang anak perempuan sekitar delapan tahun, kedapatan memukuli adik lelakinya yang berusia enam tahun di Haiti, karena kedapatan tidak patuh padanya. Tetapi kemudian mereka tetap berjalan bersama-sama.

Bourguignon menekankan pada perbedaan-perbedaan itu dengan melihat bagaimana sehingga kejadian pada dua anak di Amerika itu terjadi justru di tengah masyarakat kota yang sudah sangat maju. Di tengah peradaban yang sudah semakin berkembang, dan tidak ada intervensi orang dewasa di dalamnya. Berbeda sedikit dengan desa-desa di Prancis, seperti dikutipnya dari tulisan Laurence Wylie, bahwa: di Peyrene itu, jika dua anak berkelahi mereka harus dilerai oleh orang dewasa. Jika tidak ada yang melerai mereka, keduanya harus dihukum. Dalam hal ini tidak usah dimasalahkan siapa yang memulai perkelahian atau siapa yang benar. Mereka berdua berkelahi, dan konsekuensinya adalah mereka berdua bersalah (Wylie, Village in the Vaucluse, 3rd edition, Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1974:49-50). Sedangkan dalam kasus dua anak di Haiti, jelas posisi kedua anak ini tidak setara. Mereka adalah kakak-beradik; sang adik dipukuli karena kedapatan tidak patuh kepada kakaknya. Sang kakak mengambil tindakan demikian sebab ia mendapat mandat dan melaksanakan peran ibunya. Tindakan pembalasan dari sang adik adalah sesuatu yang tidak benar, sebab dalam kasus itu, memukuli kakak perempuan sama dengan memukuli ibu mereka. Dengan demikian itu yang disebut dosa. Kakak perempuannya itu memiliki otoritas dan tindakannya memukuli adiknya bertujuan untuk mendisiplinkan dia.

Bagi Bourguignon, beberapa contoh itu menjelaskan mengenai tipe interaksi sosial (social interaction) di antara masyarakat, serta orientasi budaya di dalam perilaku masyarakat. Dalam masyarakat Peyrene di Prancis, keterlibatan orang dewasa dalam melerai perkelahian dua anak bersumber dari model regard, atau penghargaan yang sudah menjadi model di dalam perilaku orang dewasa.

Tentang hal itu, adakalanya kekerasan bisa juga menjadi suatu model yang kerap kedapatan di dalam masyarakat yang kurang terdidik (uneducated) dan komunitas miskin. Di sini kekerasan bahkan dilihat sebagai cara untuk menjadi “better people”.

Dalam kasus ini, contoh dari Haiti adalah contoh dari sosialisasi anak (child socialization), dengan fokus pada bagaimana seseorang anak dilatih untuk patuh kepada kakaknya. Dalam arti itu, anak perempuan yang memukuli adiknya dan menghukumnya patuh kepada perintah ibunya dalam mendisiplinkan adiknya. Pola seperti itu terjadi karena dalam masyarakat Haiti terdapat hierarkhi berdasarkan usia anak. Perbedaan seks tidak menjadi hal yang determinan, karena itu seorang kakak perempuan menjadi tuan atas adik lelakinya. Di sini terkandung nilai religious, bahwa memukuli kakak perempuan adalah dosa. Ini terjadi dalam sistem yang tidak seimbang, di mana seseorang berada di atas atau di bawah dalam ranking sosialnya. (hlm.4).

Sedangkan dalam contoh di Prancis, fokusnya terletak pada nilai (values), sehingga persoalan pokok dari perkelahian bukan “siapa yang memulai” atau “siapa yang benar”. Ini dibentuk oleh pengaruh pendidikan. Masyarakat yang terdidik akan lebih fokus pada nilai di dalam perilaku individu dan kelompok.

D. Fokus Studi Antropologi Psikologi

Pada halaman 14-17, Bourguignon menceritakan latar belakang sejarah munculnya Antropologi Psikologi sebagai suatu sub-bidang keilmuan yang independen.

Dijelaskannya bahwa sub-bidang keilmuan ini berkembang pertama kali melalui studi terhadap kebudayaan dan perkembangan personalitas manusia yang populer di Amerika Serikat, ketika psikoanalis semakin mantap berkembang di sana. Beberapa pakar yang mulai merintis jalan ke arah itu seperti Hallowell (1954). Ia menunjukkan bahwa sifat dasar psikologi dan antropologi sejak ratusan tahun pertama, hanyalah merupakan dampak dari hasil kerja Darwin. Dalam kaitan itu, beberapa karya antropologi Jerman awalnya, seperti karya T. Waiz dan A. Bastian, yang berorientasi psikologis. Psikologi awal ini adalah sebuah psikologi sosial. Dalam pandangan itu, E.B. Taylor (1871 – ia kemudian lebih dikenal melalui berbagai teori tentang Evolusi) yang mengemukakan sebuah analisis budaya yang cukup populer bahwa: kebudayaan, adalah kompleksitas dari pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, tradisi dan berbagai macam hasil karya manusia serta lingkungannya dan digunakan manusia sebagai bagian dari masyarakat; bukanlah milik khusus individu.

Seperti disebutkan F.L.K. Hsu, yang dikutip Bourguignon, Apa yang diperlukan dalam antropologi adalah menentukan premis atau postulat dari karakter manusia melalui bentuk-bentuk dasar pada setiap budaya dan masyarakat. Manusia tidak sama dalam setiap masyarakat yang berbeda dalam hal anggotanya, barang-barang yang mereka miliki, obyek-obyek lainnya dan semua itu saling berbeda serta merupakan pengungkapan perilaku individu dan kelompoknya (Hsu, “The Art of Teaching the Human Science”, Report on Teaching, 5. Change: The Magazine of Learning, 1978a:7).

Suatu bentuk perbedaan lain tampak melalui bagaimana perasaan seseorang terhadap lainnya dan bagaimana hal itu terjadi sejak awalnya, dan begitu seterusnya menjadi cara yang berbeda dalam mengungkapkan perasaan. Ini menunjukkan bahwa budaya itu adalah suatu sistem; ibarat teka-teki silang yang mengandung berbagai bagian yang saling terhubung. Kita bisa memulai dengan suatu bagian tertentu, dan melanjutkan pada bagian lain agar bagian itu dapat dimengerti secara utuh.

Bourguignon membangun asumsi atropologi psikologi ini dengan mengedepankan beberapa terminologi metodologis yang kiranya menjadi rujukan kita dalam melakukan riset. Apa yang dikemukakannya tentang commonsense observation, secara metodologis adalah suatu usaha dalam antropologi psikologi untuk menemukan bagaimana setiap perbedaan itu terjadi, dan baaimana hubungannya dengan kehidupan sosial. Ia juga mengeksplorasi suatu dasar tentang hal-hal yang mungkin saja sama dalam kehidupan manusia, atau yang perbedaannya kecil saja. Bertumpu pada temuan itu, kita lalu belajar tentang apa yang telah ditemukan, metode apa yang bagus untuk menemukan bukti empiris, dan apakah ada pertanyaan baru dalam seluruh proses yang telah dijalani itu.

Proses metodologi berikutnya adalah cross-cultural, di mana kita mesti pahami bahwa masyarakat kita adalah satu-satunya spesies yang memiliki cara hidup (way of life) yang khusus, sebagai suatu fenomena lokal.

Dalam kaitan itu, kebudayaan masyarakat kiranya dipahami sebagai sesuatu yang dimiliki masyarakat melalui proses belajar dan pengalaman, ia bukanlah suatu bentukan genetik seorang individu. Tetapi perkembangan adalah hasil dari relasi yang rapat antar manusia dengan warisan yang berbeda dari zaman leluhurnya, yang juga diproduksi dalam proses sosial dan budaya, seperti juga tampak melalui perang dan migrasi.

E. Evolusi Perilaku

Teori ini bertolak dari evolusi perilaku manusia secara biologis, artinya adanya perkembangan perilaku (dari semula yang identik dengan binatang). Dalam perkembangannya, perilaku manusia semakin berkembang, dan menjadi sesuatu yang berbeda dari binatang karena struktur kesadaran yang ada pada manusia.

Bentuk-bentuk perilaku awal itu terjadi dalam masa yang disebut protocultural. Dalam masa itu, perilaku manusia adalah sesuatu yang dibedakan secara tajam dari perilaku hewani. Hallowell menstudikan hal itu dengan melihat pada mode adaptasi budaya. Ia melihat tahapan protocultural itu sebagai masa preadaptasi di mana manusia belajar dari tipe-tipe perilaku yang sederhana, kemudian dibantu oleh proses sosialisasi individu dalam struktur sosial yang terus berkembang karena adanya peran-peran yang berbeda di antara setiap kelompok manusia.

Perubahan perilaku itu terjadi karena beberapa hal, yakni: pertama, learning (belajar). Proses ini mengacu dari kompleksitas kebudayaan, dengan demikian proses ini bertujuan agar orang belajar berperilaku (learned behavior). Yang hendak dicapai di sini adalah perkembangan kapasitas belajar di dalam konteks kebudayaan.

Proses kedua adalah socialization sebagai proses awal dari periode kehidupan manusia di dalam masyarakat. Proses ini terjadi melalui serangkaian adaptasi manusia, baik individu maupun kelompok. Proses ini berlangsung dalam suatu relasi khusus, ibarat relasi cinta orang dewasa, tetapi tidak seeksklusif seperti relasi antara seorang ibu dan bayinya. Durasinya bisa lama tetapi juga cepat, tergantung pada kemampuan manusia mengadaptasi dirinya dalam lingkungan itu.

Proses ketiga adalah pembentukan kelompok sosial, di sini Hallowell melihat berlangsungnya proses transmisi di dalam belajar berperilaku. Ada proses pengalihan perilaku dari satu generasi ke generasi yang berikutnya, dan hal itu berlangsung melalui proses belajar yang telah ditempuh dari generasi ke generasi itu.

Di dalam proses transmisi itu, faktor bahasa memegang peran penting dalam upaya alih perilaku dalam sistem-sistem sosial yang ada. Hal itu yang dimaksudkan Steward sebagai ‘cultural type’, dan ‘level integrasi sosial budaya’. Dari segi perilaku, ia kemudian menyebutnya sebagai suatu pendekatan ‘evolusi multilinear’.

F. Pendekatan dalam Hubungan Antara Budaya dan Kepribadian

Pertanyaan pokok dalam kaitan ini adalah (1) bagaimana konsep hubungan antara budaya dan kepribadian (personalitas); (2) kategori apa yang biasa digunakan untuk mendeskripsikan kepribadian? Dan (3) metode apa yang biasanya digunakan untuk menginput kepribadian secara cross-culturally? Untuk menjawab tiga pertanyaan itu, Bourguignon menetapkan adanya tiga pendekatan, masing-masing: pendekatan konfigurasional; pendekatan reduksi psikoanalis; dan pendekatan mediasi individu.

a. Pendekatan Konfigurasional

Contoh paling gamblang mengenai pendekatan ini mengacu dari tesis Ruth Benedict melalui bukunya Patterns of Culture, suatu hasil penelitian (konfigurasional) terhadap masyarakat dengan analisis terhadap pengaruh Pueblos dan Zuni di New Mexico, Dobuans di Melanisia, dan budaya juga pengaruh Pueblos di dataran Indian. Sebenarnya sebelum Benedict, Franz Boas telah melakukannya di masyarakat Kwaikiutl, dengan mengidentifikasi bentuk-bentuk konfigurasi yang dominan.

Pola analisis seperti itu mengandung pengertian bahwa pendekatan konfigurasional melihat pada pengaruh beragam bentuk kebudayaan terhadap perilaku individu. Asumsinya dari pola perilaku seseorang kita bisa mengenal tipe kebudayaan masyarakatnya, atau sebaliknya. Mengenai hal itu, Bendict mengatakan: Jika kita meneliti perilaku manusia, pertama-tama kita mesti memahami institusi sosial di dalam suatu masyarakat. Sebab tingkah laku manusia turut ditentukan oleh bentuk-bentuk institusi itu, termasuk perilaku yang ekstrim, merupakan bagian dari kebudayaan setempat (Benedict 1961:236).

Dalam pandangan itu, budaya membangun tiap individu manusia, dan ditemukan dalam studi terhadap perilaku individu. Walau demikian, Benedict melihat pada pentingnya integrasi kebudayaan dalam membentuk perilaku manusia itu. Baginya, perilaku manusia itu adalah aktualisasi dari apa yang diberikan oleh budaya. Perilaku itu adalah suatu given dari kebudayaan.

b. Pendekatan Reduksi Psikoanalis

Mengacu dari kerja Benedict itu, Géza Róheim, antropolog asal Hungaria, mencoba menindaklanjuti analisis psikoanalisis yang dikerjakan oleh Marie Bonaparte, putri raja George dari Yunani, yang juga adalah murid Freud. Róheim kemudian fokus pada masyarakat Aborigin di Australia, dalam rangka melihat apa yang disebut Freud dengan Totem and Taboo. Mengikuti alur pemikiran Freud, Róheim membahas kesadaran primitif (primitive neurotics), dan hubungannya dengan evolusi kebudyaan. Dengan penelitian ini Róheim sebenarnya hendak menjembatani kesenjangan yang selama ini terjadi pada analisis psikoanalisis dengan mengedepankan apa yang kemudian ia sebut psycho-analitic ethnology (pasikoanalisis etnologi).

Dari dasar penelitian lapangannya di bidang antropologi dan psikoanalisis, Róheim lalu mengembangkan ‘teori ontogenetik budaya’. Teori ini melihat kebudayaan sebagai hasil dari ‘human delay infancy’. Hal itu mengandung ‘karakter kelompok’ dari suatu masyarakat sebagai hasil atau respons terhadap tipe-tipe trauma dari masyarakat tertentu itu. Ia berpendapat bahwa setiap masyarakat terdapat aspek-aspek khusus dalam interaksi antara anak-anak dan orang dewasa terutama aspek ‘painful’ (rasa sakit). Róheim mengakui eksistensi individu dalam masyarakat, dan variasi karakter individu (di era modern) itu adalah suatu perkembangan dari karakter masyarakat primitif.

Teori Róheim ini mengasumsikan bahwa perilaku manusia itu tidak ditentukan secara biologis, melainkan juga oleh kebudayaan masyarakat. Sejak semula telah ada kesadaran (primitif).

c. Pendekatan Karakter Mediasi

Pendekatan ini berasal dari Abram Kardiner, dan beberapa antropolog seperti Ralph Linton dan Cora Du Bois. LeVine (1973) menyebutnya sebagai ‘pendekatan karakter mediasi’.

Para antropolog ini melihat pada basic personality structure. Du Bois malah melihat apa yang ia istilahkan modal personality. Istilah ini menerangkan pada karakter yang dibagi oleh anggota kelompok mayoritas adalah hasil dari pengalaman masa kanak-kanak setiap orang. Karakter itu kadang dibagi dalam institusi keluarga, sebagai institusi paling dasar (primary institution). Aspek lain yang berpengaruh pada karakter mediasi itu adalah secondary institution, seperti dari agama, folklore, mitologi, seni, dll. Institusi sekunder ini menghasilkan ‘projective systems’ atau ‘projective screens’. Menurut teori ini, institusi utama suatu masyarakat menghasilkan struktur dasar perilaku, yang mengungkapkan perilaku-perilaku yang kelihatan di masa kini – konflik, fantasi, dll – dalam bentuk institusi sekunder.

Untuk memahami teori ini, Linton dan Kardiner mengajak melihat pada apa yang disebut ‘institusi’, yaitu apa yang dilakukan, dipikirkan, dipercayai, atau dirasakan manusia. Tempatnya ada dalam perilaku manusia, dan diakomodasi dalam institusi itu. Perbedaan bentuk perilaku ini sebenarnya ada juga dalam masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, Papua. Satu hal yang kiranya perlu dilihat adalah bagaimana sehingga terdapat perbedaan perilaku tersebut, dan apa konsep kebudayaan yang terkandung sehingga kedapatan bentuk perilaku yang berbeda itu. Dalam kasus ini, terkadang orang menjadikan kekerasan sebagai bentuk ekspresi diri. Faktor pendidikan memang selalu menjadi indikator utama dalam membentuk perilaku individu atau kelompok. Masyarakat dengan tingkat pendidikan baik akan menggunakan model negosiasi (negotiation) untuk memecahkan perbedaan di antara mereka, sedangkan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah akan menggunaka model aggression. Teori ini pun sejalan dengan Klukholn, melalui term cultural universal, yakni adanya tujuh unsur budaya yang universal pada setiap masyarakat di dunia; teori yang kemudian dikembangkan juga oleh Koentjaraningrat tentang antropologi masyarakat di Indonesia. Observasi terhadap pandangan umum. Dalam term penelitian sosial, common sense merupakan salah satu sumber kebenaran atau pengetahuan yang bisa dijadikan acuan ekspolrasi ilmiah. Kebenaran-kebenaran dalam common sense adalah kebenaran standard yang masih perlu diuji melalui penelitian ilmiah (science research method). Baca Pada aspek perilaku, perang dan migrasi juga dapat membentuk suatu tipe perilaku masyarakat, seperti tampak dalam apa yang kerap disebut modeling, di mana seseorang akan berperilaku seperti orang atau kelompok lain melalui cara meniru, atau karena kepadanya diperkenalkan cara perilaku tertentu.

Dalam hal belajar, orang bisa belajar dari pengalaman tertentu [di masa lampau] dan melihatnya sebagai perilaku yang membudaya. Akibatnya cenderung mengcopy perilaku lama itu menjadi perilaku komunitas yang baru [modeling]. Aspek ini kemudian akan dikembankan dalam penelitian kami selanjutnya setelah penulisan buku ini rampung yang mana bertujuan untuk melihat motiv kebudayaan dalam perilaku individu atau kelompok (informan dalam penelitian). Artinya, perilaku ini akan ditelusuri dari asumsi-asumsi kebudayaan sebagai bentuk primitive neurotics itu. Apakah perilaku ini telah ada dalam masyarakat Maybrt, Imian, Sawiat, di zaman lampau, dan apakah masih ada dalam masyarakat dewasa ini. Kadang pengalaman perilaku individu dibentuk oleh perilaku anggota keluarga lainnya. Umumnya kita mengidentikkan perilaku seorang anak dengan perilaku orang tuanya.

Read more...

tentang blog ini

Blog ini didirikan dengan tujuan sebagai tempat diskusi online orang Maybrat dimana saja berada.

1. apakah anda sudah menjadi anggota?
2. berikan pesan, komentar, pendapat, ide, nyanyian, syair, canda, tawa, dan lain-lain tentang apa saja, terutama yang berkaitan dengan Maybrat, di blog ini.

terima kasih dan salam

Blog Archive

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP