Pengikut

Rabu, 21 April 2010

Alkitab sebagai Sumber Pertumbuhan Iman Kristen VS Watum Sebagai Sumber pertumbuhan Iman Wiyon-Wofle.

Alkitab sebagai Sumber Pertumbuhan Iman Kristen VS Watum Sebagai Sumber pertumbuhan Iman Wiyon-Wofle.


oleh

Hamah sagrim



1. Apa itu alkitab (sumber kristen) dan bo tgif (sumber wiyon-wofle)?”.

Ini merupakan kajian sosiologis terhadap dinamika penulisan alkitab dan penghafalan bo tgif, dan pemahaman masing-masing. Debat Tak Berakhir I keep you dangling between belief and disbelief by turns, and I don’t mind admitting that I have a reason for it. It’s the new method, sir. For when you lose your faith in me completely, you will at once begin assuring me to my face that I’m not a dream, but do really exist (V. Ivanov, Freedom and the Tragic Life, Nonday Press, 1957, p.759)”.

Mempersoalkan Alkitab, apa masih perlu. Paling tidak pertanyaan mengenai signifikansinya sudah barang tentu membuat diskursus mengenai Alkitab akan mengalami pebenturan pemahaman dan penghayatan iman. Berbeda dengan bo tgif yang layaknya telah berjalan mulus tanpa perdebatan atau diganggu gugat oleh siapapun orang tertentu. Ini berbeda dengan kitab injil.

Kita dapat melihat bahwa benturan pemahaman merupakan sebuah gejala akademis (epistemologis) mengenai dasar-dasar keilmuan dari Alkitab itu sendiri. Ini dapat saja terjadi karena warisan pemahaman teologi yang berbeda-beda. Teologi biblika akan menghadapkan kita pada varian pemahaman mengenai Alkitab itu sendiri. Sebagai contoh formulasi masalahnya ialah apakah Alkitab itu firman Tuhan, atau apa hubungan otoritas ilahi dengan karya para penulis menyusun tulisan-tulisan tersebut?. Orang Maybrat, Imian, Sawiat, tidak pernah melakukan pertanyaan semacam ini terhadap bo tgif atau vito atau bo snyuk. Ini mungkin karena ketidak pahaman orang awam atau karena aktivitas wiyon-wofle yang tertutup atau tersembunyi.

Pada fase penghayatan, faktor iman mendominasi seluruh kerangka pengertian orang Maybrat, Imian, Sawiat tentang bo tgif, vito dan bo snyuk. Hal yang serupa terjadi pada kalangan imanen kristen yang mendominasi keseluruhan kerangka pengertian mengenai Alkitab. Kalau orang sudah mendefinisikan Alkitab sebagai Firman Tuhan dan memahaminya secara harfiah, jangan harap ada sikap kritis terhadapnya. Ini yang terjadi pada kehidupan orang Maybrat, Imian, Sawiat, yang mana mereka telah mendefinisikan bo tgif sebagai firman dan memahaminya secara harfiah, sehingga tidak adanya kritikan terhadap bo tgif itu sendiri. Dan jika ada sikap kritis, orang itu akan dimasukkan dalam “gheto” bersama dengan “orang-orang yang tidak beriman”.

Mengapa fenomena itu ada. Norman K. Gottwald membantu kita memetakan kecenderungan pemahaman umum mengenai Alkitab dan kemudian paradigma pemahaman teologi. Fenomena tadi bagi Gottwald merupakan kecenderungan dari dual causality approach dalam pemahaman teologis masyarakat. Prinsip “dua penyebab” ini adalah pendekatan yang mengarah ke Tuhan (divine system) dan pendekatan yang mengarah ke manusia (human system).

Corak pemahaman divine system lebih condong kepada sebab-sebab ketuhanan, sebaliknya human system condong kepada sebab-sebab kemanusiaan. Dinamika transenden dan dinamika sosial nampak sebagai penyebab terjadinya sesuatu, demikian juga terhadap tulisan suci. Yairah Amit, seperti dikutip Gottwald, melihat bahwa dua pendekatan ini mesti saling mengisi, tanpa harus dipertentangkan. Pokok soalnya ialah hubungan dinamika kemanusiaan itu menjelaskan realitas ketuhanan, dan sebaliknya sebab-sebab ketuhanan itu bermakna dalam dinamika sosial manusia melalui “providencia”.

Pendapat-pendapat tersebut dijadikan sebagai dasar membangun kajian ini secara teoretik. Di samping itu, dalam rangka membahas tema tulisan ini, saya mencoba menarik sintesa dari berbagai studi sosiologis mengenai dinamika sosial dan politik penyusunan tulisan-tulisan suci, yang kemudian disebut Alkitab.

1) Latar Sosial Israel Alkitab

Alkitab sebagai karya tulis para scriba dihasilkan melalui pergumulan panjang dalam suatu lingkungan sosial. Berbeda dengan bo tgif, vito, dan bo snyuk dalam k’wiyon-mbol wofle yang hanya menghafal tanpa teks yang dilakukan secara turun-temurun tetap sama, dan tidak didasarkan pada alam fantasi. Alkitab pun demikian, Scriba tidak menulis dalam “alam fantasi” atau dari tengah kondisi “ekstasi”, mereka sadar akan realita yang dihadapinya, berupa tekanan, keresahan rakyat, harapan dan keputusasaan, kelaparan, kesejahteraan, dan kemenangan. Mereka mengangkat dan menuangkan ekspresi rakyat dan/atau ekspresinya sendiri dalam bentuk tulisan, yang bisa juga berupa propaganda politik dalam rangka mendukung tegaknya suatu dinasti (royal writings), atau sebagai dasar legitimasi bagi naiknya seseorang menjadi raja (bnd. karya J sebagai propaganda politik Daud; dan karya Dh sebagai propaganda mendukung Yosia sebagai pewaris sah dinasti Daud).

Dunia sosial (social setting) dari tulisan-tulisan menuangkan latar belakang ekspresi dan artikulasi iman dalam bentuk tulisan, yang kemudian disebut Alkitab (tulisan suci). Dunia sosial yang dimaksud di sini tidak menunjuk sebatas pada lokasi geografis (place), tetapi issu dan tujuan bersama (common will) masyarakat serta masalah sosial yang dialami dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, ada tiga unsur pokok dalam dunia sosial, yaitu tempat dan ruang (lingkungan, relasi/kontak, tokoh), ideologi (issu, harapan, tujuan, keresahan, dsb) dan waktu (pergerakan sejarah, peristiwa).

Ekspresi umat yang dikristalkan dalam bentuk tulisan merupakan kulminasi dari pengalaman nyata rakyat, baik secara teologis maupun sosiologis, dalam hubungan dengan orang lain dan dengan Tuhan. Bentuk-bentuk ekspresi dalam Alkitab seperti saga, legenda, ucapan-ucapan (logia), puisi, lagu, theater, drama, liturgi, cerita sejarah,hukum, dsb. Bentuk-bentuk itu ditulis dan dikodefikasi sebagai tulisan suci dalam kanon.

a) Teritori dan Konteks Sosio-Politis Israel Alkitab.

Dunia darimana Alkitab ditulis adalah suatu lingkungan masyarakat agraris di Palestina yang gemar menanam jelai (semacam padi/gandum). Kelompok masyarakat ini terbilang kecil, sebab lingkungannya yang tandus, dan kurang produktif untuk mendukung hidup populasi masyarakat. Karena itu mudah dikuasai oleh bangsa-bangsa besar, seperti Siria, Mesir, Babel, Yunani dan Romawi.

Israel, merupakan lokus lahirnya tulisan suci yang kemudian dikodefikasikan sebagai Alkitab yang kini ada di tangan kita. Israel, darimana tulisan itu lahir, tidak seperti Israel yang kini kita ketahui bersama. Suatu lingkungan suku-suku yang semula merupakan suatu wilayah konfiderasi, tidak menyatu seperti diceritakan dalam Alkitab. Sebuah liga suku yang tinggal di daerah padang gurun Trans Yordan.

Wilayah-wilayah penting sebagai teritori konfiderasi suku-suku itu ialah wilayah pesisir Laut Tengah (tepatnya di teluk Acconorth di lembah gunung Karmel), di sepanjang Delta sungai Nil. Wilayah ini dihuni oleh orang-orang Filistin, dan kemudian oleh tentara-tentara Daud ketika ia membangun persepakatan militer dengan Filistin. Wilayah berikutnya ialah kota perbukitan Yehuda. Pusatnya berada di puncak bukit (kemudian dinamakan Sion), dengan wilayah yang agak tandus dibagian barat, sedangkan wilayah timurnya agak subur karena dekat dengan perairan dan bermuara di Laut Mati.

Teritori ketiga ialah kota perbukitan Samaria, yang berada di antara perbatasan Yehuda dengan Benjamin. Posisinya menyerupai sadel (pelana) kuda di antara dua bukit Yehuda dan Benjamin tadi. Wilayah lain yang cukup subur sebagai penghasil minyak dan anggur adalah kota perbukitan Galilea. Wilayah ini menjadi salah satu bandar dagang terbesar di Palestina.

Suku-suku itu tersebar di seluruh wilayah tadi, dan sebagiannya ada di dataran Gilead, atau juga di wilayah Amon, Edom dan Moab. Intensitas hubungan sosio-politik antar suku dan/atau dengan bangsa-bangsa sekitar cukup tinggi, baik dalam hubungan dagang, maupun karena faktor koloni (penjajahan).

Mesir merupakan negara adidaya yang besar pengaruhnya. Kekuatan ini mengalami masa jayanya pada penghujung abad ke-14, dan terutama pada masa pemerintahan Ramses II (1279-1212), Merenptah (1212-1202) dan Ramses III (1183-1152). Kekaisaran baru ini terus mengembangkan kekuasaannya di seluruh wilayah Palestina dengan jalan membangun gudang-gudang granisium, gudang makanan, dan mega proyek lainnya. Seluruh wilayah taklukan diwajibkan tunduk kepada hukum Mesir, termasuk di dalamnya sistem perpajakan dan aneka arsitektur seni, ritual maupun kultus.

Pengaruh politik itu berimplikasi pada perubahan mata pencarian dan sistem permukiman dari orang-orang yang hendak melepaskan diri dari cengkeraman politik Mesir. Oleh sebab itu kota dibangun di puncak bukit, dan orang mulai melepaskan pekerjaan pertaniannya ke pekerjaan sebagai penggembala dan/atau bandit yang beroperasi di padang gurun. Sebagian besar kelompok itu adalah orang-orang apiru, yaitu orang-orang yang bermigrasi karena tekanan sosial, politik dan ekonomi, sehingga kehilangan identitasnya sebagai suatu bangsa. Karena kesulitan ekonomi, dan terlilit pajak atau hutang, mereka menyebar dan selalu membentuk kelompok gank yang dapat disewa sebagai “tentara upahan” untuk kepentingan kelompok tertentu.

Israel Alkitab terpaksa harus ada dalam pergumulan politis seperti itu. Suku-suku pun menjadi bagian dari penaklukan bangsa-bangsa asing. Kenyataan itu menjadi salah satu taget politik Daud untuk menyatukan suku-suku yang ada sebagai suatu liga yang besar untuk menentang dominasi bangsa-bangsa asing.

Dari waktu ke waktu, kekuatan politik Mesir jatuh. Dalam konteks itu, Daud membangun persepakatan militer dengan Filistin. Usaha itu bertujuan untuk menentang kekuatan Mesir. Persepakatan politik itu bertujuan untuk memperkuat posisinya sebagai pemimpin di Israel Alkitab.

Dalam rangka memperkuat posisi politiknya Daud menyusun cerita-cerita sebagai suatu alat propaganda politik. Di sinilah para scriba dipakainya untuk membuat dan menyebar tulisan-tulisan itu. Pada masa itu dunia tulis-menulis hanya dikuasai oleh sekelompok orang tertentu, dan umumnya adalah kelompok elite sosial. Tulisan-tulisan itu muncul dalam berbagai rupa, seperti karya sastra, berupa puisi, drama, fragmen, saga, apos, atau juga musik. Di samping itu, rumusan hukum kemudian muncul sebagai suatu alat legitimasi kekuasaan, baik hukum pajak, hukum militer, hukum kemanusiaan, dll. Tampak kepentingan politis dari tulisan-tulisan tersebut.

Dengan demikian jelas bahwa tulisan paling awal muncul dari dalam lingkungan kekuasaan (istana – the royal writings), dan bukan dari konteks keseharian masyarakat. Dari segi ini, jika tulisan-tulisan itu menceritakan tentang nasib orang-orang miskin, semata-mata dimanipulasi untuk menarik interese rakyat kecil kepada kekuasaan itu sendiri.

b) Corak Davidik dalam Hebrew Bible.

Hebrew Bible (HB) atau yang kita kenal dengan nama Perjanjian Lama menunjuk pada otoritas Daud. Pada sisi itu, interpretasi Yahudi dan Kristen terhadap HB berbeda. Coote-Coote menulis bahwa: HB memperhatikan tata tertib sosial, hukum dan wewenang bait suci. Orang Yahudi dan Kristen berbeda dalam menentukan wewenang apa yang harus disandang kitab suci,bait suci setelah penghancurannya oleh tentara Romawi pada tahun 70 M. Interpretasi Yahudi menekankan wewenang lokal yang didasarkan atas kepercayaan akan kesinambungan kesucian bangsa dan bait sucinya, meskipun bait suci sudah tidak ada lagi di sana. Interpretasi orang Kristen menerima wewenang kerajaan yang didasarkan pada keyakinan bahwa bait suci dan segala sesuatu yang didukung sudah digantikan oleh peraturan Allah yang akan datang. Hal ini membuat orang Kristen lambat dalam menegaskan wewenang mereka di bait suci, dan siap tuntuk untuk sementara pada, entah senang atau tidak, wewenang Romawi.

Sebagai karya yang lahir dari lingkungan istana Daud, Daud memiliki kepentingan dasar dengan tulisan-tulisan suci itu. Tema teologis yang kuat dalam masa itu ialah berkat dan kutuk dengan pola hukum bersyarat (conditional law) dan hukum tak bersyarat (unconditional law).

Formulasi berkat dan kutuk dilekatkan pada identitas kebangsaan. Mesir diidentikkan dengan bangsa yang mendapat kutuk sebaliknya Israel adalah bangsa yang diberkati. Cerita ini dimulai dari kisah Adam dan Hawa sebagai generasi kutuk. Karena itu mereka diusir keluar dari taman eden, berbeda dengan Abram dan Sarah, sebagai generasi berkat yang mendapat kelimpahan tanah perjanjian. Sejalan dengan itu, Kain dan Habel adalah representasi dari Mesir yang dikutuki, penuh kecemburuan, dan jahat (Kain), dan Israel sebaagi representasi negeri yang diberkati. Sejajar dengan itu, adalah kisah Ismail dan Ishak, atau kemudian Esau dan Yakub adalah reduplikasi cerita Kain dan Habel, yang menggambarkan kisah otoritas Yahweh menentukan yang terbaik menurut “kehendak bebasNya”. Pertentangan Esau dengan Yakub sejak dalam kandungan, dan bahkan kisah penipuan Yakub untuk mendapat berkat dari Ishak tidak diekspos sebagai bentuk penghianatan si adik, melainkan dialihkan secara transhistoris ke otoritas kehendak bebas Allah.

Di samping menegaskan berkat dan kutuk, Daud memiliki kepentingan lain dengan kisah genealogis seperti itu. Tujuannya sederhana, ia sadar bahwa dirinya bukan anak sulung, melainkan si bungsu dari Isai. Oleh sebab itu, kisah-kisah tadi disusun untuk membentuk opini umum, secara politis, bahwa tidak selamanya yang sulung itu berhak atas kekuasaan dalam suku-suku.

Demikian pun komposisi cerita 12 anak Yakub. Sebetulnya merupakan sebuah mithos yang bertujuan untuk mengintegrasikan suku-suku yang menyebar di TransYordan ke dalam satu liga yang besar. Terbaca dari komposisi 12 suku itu, Yehuda sebagai pemegang tampuk kekuasaan “kekal”. Siapa Yehuda itu, tentunya Bani Daud. Oleh sebab itu, ketika kudeta yang dilakukannya terhadap Saul bukanlah sebuah pelanggaran politis, melainkan terjadi karena, sekali lagi, kehendak Yahweh. Kehendak Yahweh ini mendapat justifikasi pada, pertama, Saul bukan keturunan Yehuda, melainkan dari suku Benjamin. Mereka tidak layak menjadi pemimpin atas Israel. Kedua, Saul dipilih berdasarkan undian, dan Yahweh dikisahkan “terpaksa” menyetujui keinginan umat melalui Samuel. Ketiga, tetapi Daud ditunjuk oleh Yahweh, dan langsung menugaskan Samuel untuk menobatkan dia sebagai raja atas Israel.

Kehadiran Samuel pun memiliki makna politis tersendiri. Samuel adala orang Rama di bagian Utara. Kedatangan Samuel dari Utara untuk menobatkan Daud menjadi Raja adalah gambaran figuratif dari ketundukan secara langsung suku-suku di utara kepada kekuasaan Daud.
Tindakan-tindakan politis itu berpengaruh juga dalam tata kultus Yahudi. Daud membangun corak pemerintahan yang sentralistis dengan menjadikan Yerusalem sebagai pusat pemerintahan. Konsekuensinya ialah ia membentuk ideologi Yahwisme sebagai ideologi nasional, dan dengan demikian menjadikan Yahweh sebagai Tuhan nasional, yang kekuasaannya di atas kuasa El-El sebagai Tuhan lokal suku-suku.

Kultus Israel dialihkan ke kultus Yahwisme, dengan menjadikan Yerusalem sebagai pusat kultus. Maka dibangunlah tradisi ziarah. Setiap suku harus berziarah ke Yerusalem. Untuk itu Daud mengambil Tabut Perjanjian dan meletakkannya di dalam kemah suci (tabernakel) di Yerusalem, serta berkeinginan membangun Bait Allah.

Menariknya ialah, semua keinginan politik Daud itu dikemas dalam bentuk tulisan suci, sebagai tulisan-tulisan istana. Tulisan-tulisan ini kemudian disebar kepada semua pejabat elite, demikian juga kepada penguasa-penguasa di sekitar Israel, dan disosialisasikan kepada masyarakat suku.

· Alkitab

Pergumulan politik seputar penulisan Alkitab yang tersaji di atas baru memperlihatkan dasar realita sosial dan beberapa tendensi penulisannya. Saya tidak sempat mengulas seluruh tendensi itu, tetapi saya yakin apa yang tersaji dapat menunjukkan kepada kita corak dasar penulisan Alkitab itu sendiri. Dan itu berlaku surut sampai dengan penulisan Perjanjian Baru. Beberapa hal hendak ditegaskan ialah:

Pertama, sebagai kumpulan tulisan-tulisan, Alkitab adalah sebuah karya teologis. Karya yang memuat dan memformulasi bagaimana orang Yahudi dan juga Yunani-Romawi memahami diri, lingkungan, kontak sosial, tata kehidupan politik, ekonomi, agama, dan kemudian cara mereka memahami Tuhan. Cara itu kiranya menjadi model bagi kita memahami dunia dan konteks hidup kita.

Kedua, pemahaman teologi yang kita anut bahwa para penulis mendapat inspirasi dari Roh Kudus, lalu mereka menuangkannya itu ke dalam bentuk tulisan. Pertanyaannya ialah, apa wujud inspirasi itu. Kalau inspirasi itu berupa kata-kata dan kalimat-kalimat, maka para penulis itu digerakkan tangannya oleh kekuatan terselubung lalu membimbing mereka mengambil alat tulis, pelepah papirus, pergamen, dll, membukanya, dan kemudian menulis kata-kata dan kalimat-kalimat yang diinspirasikan itu. Jika itu yang terjadi, saya curiga, saat mereka menulis kata demi kata atau kalimat demi kalimat, mata mereka terpejam, telinga mereka tertutup terhadap kebisingan lingkungan, mereka berada di dalam sebuah ruangan yang tertutup pintu-jendelanya. Setelah itu, tulisan itu disimpan ke dalam peti, atau diberikan kepada orang lain, yang juga bisa membaca. Tetapi jika inspirasi itu datang dalam wujud kesadaran, kepekaan sosial, perhatian dan solidaritas, tetapi juga keresahan dan keputusasaan, atau malah tangisan dan kesenangan, pasti kita pun bisa menerima inspirasi yang sama dengan para penulis itu. Dengan demikian, apakah tidak mungkin kita juga menghasilkan sebuah tulisan suci dalam konteks saat ini.

Ketiga, dari konstatasi itu, kalau Alkitab itu didefinisikan sebagai Firman Allah, sejauhmana dimensi firmannya itu memiliki rentang kendali kepada manusia sampai saat ini, di berbagai wilayah, di luar Israel Alkitab. Apakah firman Tuhan itu sekali datang kepada Israel Alkitab dan berlaku surut kepada semua bangsa dan semua manusia di sepanjang abad. Bagaimana dengan konteks yang kita hadapi saat ini. Apakah semua sudah difirmankan akan terjadi seperti begitu? Jika demikian maka keagamaan kita tak lebih dari sebuah kisah Film Casandra yang diputar ulang di SCTV.

2. Apa Arti Teologi?

a) Asumsi Awal.

Memahami teologi tidak mesti dimulai dari sebuah definisi yang baku atau standar mengenai “apa teologi” itu? Atau teologi ialah...? Apalagi kalau definisi teologi itu kemudian diuraikan secara etimologis. Orang akan dengan sederhananya mengatakan, teologi terdiri dari kata berbahasa Yunani, yaitu theos, yang artinya Tuhan, dan logos, yang artinya perkataan, ucapan, firman, pengetahuan, dll. Dengan demikian teologi berarti pengetahuan tentang Tuhan.

Hal itu tidak salah, tetapi terlampau menyederhanakan teologi sebagai sebuah ilmu. Penyederhanaan itu telah menyebabkan kesalahan laten, di mana teologi diperangkapkan dalam suatu lingkungan abstrak dan transenden. Kiblatnya diarahkan ke realitas Tuhan yang transenden, bukan meresponi Tuhan yang historis dan imanen. Bahkan seluruh aktifitas manusia pun akhirnya mengarah ke transendensi itu. Keberakaran teologi dalam konteks kehidupan manusia semakin menjadi lemah, sehingga aksentuasi kehidupannya merupakan semacam “credit point” untuk masuk surga.

Tanpa disadari, pemahaman teologi seperti itu telah membentuk perilaku kristiani yang sangat normatif. Apapun yang dilakukan harus berdasarkan pada “hukum-hukum Tuhan” sebagaimana tertuang di dalam Alkitab. Sehingga perilaku Kristisani sangat biblisentris. Tentu tidak salah juga, jika dimaknakkan sebagai pola beragama masyarakat, atau kekhasan suatu kelompok agama. Namun fatalnya, ialah kecenderungan itu telah memunculkan sistem identifikasi diri yang patronis. Orang Kristen, di berbagai tempat – termasuk di Indonesia atau Maluku/ Ambon – telah mengidentifikasi dirinya sebagai Israel “baru”. Sebagai Israel “baru” itu, seluruh fantasi kehidupan dan keagamaannya diarahkan sama dengan Israel di Palestina dalam seluruh sejarah kehidupannya. Dari situ tampak bahwa teologi – yang selama ini di anut – gagal melahirkan sebuah pengenalan dan identifikasi diri yang kontekstual. Teologi gagal membangun mentalitas bergama yang kontekstual, sebagai produk lingkungan di mana ia hadir. Mentalitas beragama yang di anut justru sebuah reduplikasi atau foto copy yang suram terhadap konteks beragama dan dari mana agama itu datang/lahir, atau tempat asal peziarah/penginjil. Dalam kenyataan seperti itu, tidak mengherankan jika sampai saat ini orang Kristen lebih suka diidentikan dengan Israel dan lingkungan Palestinanya (bnd. Ideologi tanah Kanaan), atau orang Islam dengan identitas Arabnya.

b) Perspektif Berteologi

Teologi dengan aspek-aspek seperti yang diuraikan -dalam konsep keilmuannya- dapat disebut sebagai teologia naturalis, yaitu refleksi filsafat tentang dasar dan tujuan terakhir dari “mengada” kita. Dalam kerangka itu, John B. Cobb - sebagai usaha menjelaskan kerangka filsafat naturalisnya Alfred Whitehead – menjelaskan bahwa teologi dalam arti itu ialah pernyataan-pernyataan yang koheren tentang hal-hal yang utama yang diakui sebagai sebuah perspektif yang diterima dari suatu komunitas iman. Contohnya, seorang Kristen akan dengan jelas berbicara tentang Yesus Kristus dan makna keberadaan kemanusiaannya, mengakui bahwa persepsinya mengenai peristiwa-peristiwa Kristus (Christ event) merupakan hal yang penting bagi gereja Kristen. Praktik tersebut dilakukan pula oleh raa wiyon-na wofle di Maybrat, Imian, Sawiat, tentang iman percaya mereka kepada wiyon-wofle. Dengan demikian, setiap pembicaraan (Gereja) yang memiliki referensi terhadap Kristus (atau ke Alkitab) itu disebut teologi, sebaliknya jika tidak memiliki refereni ke peristiwa Kristus, tidak dapat disebut teologi. Atau jika tidak memiliki akses ke dalam komunitas gereja, juga tidak dapat disebut teologi.

Hal yang sama berlaku, bahwa semua formulasi teologi harus konkruen dengan rumusan pengakuan gereja, tradisi gereja, Alkitab, dan rumusan-rumusan pendapat bapa gereja yang berabad-abad yang lampau. Hal-hal itu telah dipahami sebagai acuan untuk berteologia, atau bahkan sumber dari teologi itu sendiri.

Cobb, mengkritik corak definisi teologi seperti itu. Baginya sebuah acuan definitif bukan menunjuk pada apa yang salah dan benar, melainkan pada apa yang berguna dan tidak perlu digunakan. Sehingga dari definisi teologi naturalis tadi, Cobb mengatakan ada empat hal yang perlu diluruskan, pertama, ada perbedaan antara teologi dan sebuah usaha mempelajari agama secara obyektif. Tetapi ada orang yang hendak menghapus perbedaan ini dan mengidentifikasi teologi dan semua studi agama. Perhatian di sini diberikan pada pengertian mengenai Tuhan, manusia, sejarah, alam, kebudayaan, moral dan takdir. Kepercayaan itu membuat mereka menyebutnya sebagai kepercayaan agama, tetapi untuk banyak hal mereka tidak percaya mengenai agama.

Kedua, definisinya mengenai teologi tidak dapat dibedakan oleh unsur-unsur dasar dari pemikiran yang lain. Walau demikian perbedaan itu tidak dapat dihindari, khususnya pemaknaan mendalam mengenai eksistensi kemanusiaan. Jika dikaitkan dengan kerangka teologi prosesnya, pada sisi inilah Cobb hendak menekankan pentingnya aktivitas manusia dalam apa yang disebutnya actual occasion atau occasion of experience. Manusia bertindak setiap hari, dan mewujudkan semua cita-citanya (subject aim) melalui berbagai aktifitas (creative aim). Dalam aktifitas itu dia tidak digerakkan oleh Tuhan laksana robot, melainkan Tuhan mengontrol dan mengantarnya mencapai tujuan utama yang disebutnya sebagai the initial aim.

Ketiga, definisi teologi Cobb tidak memiliki refernesi mengenai Tuhan. Tentang hal itu dijelaskannya bahwa “teologi” sebagai doktrin tentang Tuhan tetap eksis sebagai cabangan dari filsafat dalam artinya itu. Namun teologi di sini merupakan sebuah usaha berproses dengan usaha-usaha untuk mengartikulasikan iman Kristen, dari pada usaha menjelaskan tentang Tuhan. Teologi terwujud dalam pekerjaan dan aktifitas keseharian manusia, siapa pun dia. Teologi seperti itu tidak ada dalam konstatasi yang suci atau sakral. Dimensi hisup manusia tidak harus diklarifikasi antara yang suci atau sakral. Jika teologi bersikukuh dalam lingkungan itu, ia menjadikan dirinya sebagai sebuah “pope work” (kerja para imam), dan bukan “what people deeds” (apa yang dilakukan manusia –berteologi/in doing theology).

Keempat, teologi itu adalah apa yang dilakukan oleh jemaat secara murni/asli. Tentunya berupa refleksi teologi sebagai anggota jemaat/masyarakat mulai dari kelompok masyarakat perdana yang kemudian memandu munculnya pandangan-pandangan atau pengalaman agama yang baru. Dalam kaitan itu teologi adalah usaha berkelanjutan, dan tidak terputus di satu titik tertentu apalagi harus stagnan dan tidak berkembang. Teologi tidak memiliki label tunggal, tetapi akan terus berkembang dan berubah menuju formula dan bentuk pengetahuan serta pengalaman yang baru atau unik.

Kerangka pikiran tersebut merupakan gambaran mengenai duduk perkara teologi dalam khazanah ilmiah. Bahwa dalam kerangka itu berbagai trend teologi bermunculan. Mulai dari teologi konvensional, tradisional, kemudian berkembang ke arah teologi kontekstual dalam berbagai perspektif seperti teologi liberal (Amerika Latin), minjung (Korea), da-lit/orang miskin (India), teologi leluhur (Australia), teologi kerbau (Thailand), dan ragam formulasi teologi lainnya.

Muncullah trend teologi-teologi itu memperlihatkan, bahwa berteologi adalah sebuah usaha berkelanjutan (continuity), tetapi sekaligus juga keterputusan (discontinuity). Berkelanjutan sebab teologi harus bergumul dalam iman yang sudah ada dan bertitik tolak dalam iman itu. Dari situ iman itu dinyatakan. Dia adalah suatu kegiatan yang terlibat (participate). Akan tetapi juga keterputusan, karena melalui teologi itu iman harus dirumuskan dalam suatu pandangan (thought). Dengan demikian dalam teologi ada dimensi partisipasi, refleksi dan ekspresi.

Sisi partisipasi refleksi mengandaikan teologi dalam pengertian praktis, menyangkut pemberlakuannya di dalam kehidupan nyata. Bahasan yang sering digunakan adalah “berteologi/in doing theology”. Pada sisi itu teologi merupakan keterlibatan langsung manusia di dalam lingkungan sosialnya. Sedangkan sisi ekspresi menempatkan teologi dalam kerangka ilmu yang memiliki standar-standar akademis yang jelas. Ia adalah disiplin ilmu yang diajarkan setiap orang, memiliki perspektif dan paradigma tertentu, dan selalu terbuka pada perkembangan dunia ilmu itu sendiri.

Dari situ tergambar, bahwa teologi tidak dapat dibatasi hanya pada dimensi keagamaan. Teologi yang dibatasi pada dimensi keagamaan akan terjebak dalam moralisme yang naif. Ia akan cenderung verbalis, atau juga biblisentris. Kemungkinannya untuk terbuka pada realitas keseharian manusia cukup sempit, karena telah ada norma dasar yang mau tidak mau harus diikuti oleh setiap orang. Dalam batasan itu, seluruh perilaku umat dituntut agar harus sesuai dengan kitab suci.

Pada tataran beragama, corak berteologi seperti itu hanya akan melahirkan pola pemikiran dan tindakan yang fundamentalis, fanatisme dan verbalisme. Akhirnya kelompok yang menganut cara berteologi itu cenderung ekslusif, tidak terbuka bagi orang atau pikiran lain yang berbeda darinya.

Sebagai sebuah ilmu, teologi itu terbuka bagi kritik, pembaruan, perkembangan secara epistemologi dan metodologis. Teologi merupakan pergumulan kembar antara teks dengan konteks, sebuah dialektika transformatif di dalam seluruh dimensi keberadaannya. Ia terbuka dan selalu mengarah ke konteksnya. Ia ditemukan dan berkembang melalui kemampuan refleksi manusia di dalam dan terhadap konteks keseharian (daily activity). Oleh sebab itu ia ada dalam sejarah, berkembang bersama sejarah itu, mengalami sejarah, dan menentukan sebuah sejarah. Teologi merupakan sebuah peristiwa historis. Historitasnya ditandai oleh kepekaan dan kesediaannya terhadap dan untuk selalu berubah.

Prinsip perubahan dalam sejarah tidak lalu mengkonstitusikan sebuah teologi itu relativ (relativism), melainkan kontekstual transformatif. Kontekstual, karena teologi merupakan cara Gereja menjawab tantangan konteksnya. Ia merupakan perintah (imperative), bukan pilihan (option) bagi Gereja dalam rangka melakukan dialog dengan perubahan yang ada.

Transformatif, sebab pembaruan yang benar-benar baru hanya bisa dicapai dengan kesadaran untuk melepaskan “yang lama” dalam kesadaran untuk menuju pada apa yang ideal. Ia dapat terjadi dengan jalan melakukan dekonstruksi terhadap berbagai unsur yang lama. Bukan karena “yang lama” itu tidak penting atau salah, melainkan harus ada sinergitas antara formulasi beriman dengan perkembangan kemasyarakatan. Semua itu harus terjadi karena teologi tidak memiliki inventarisasi data yang baku/ konstan. Data teologi ada dalam pergumulan tetap dengan sejarah. Bahkan berubah seturut alur perubahan sejarah itu. Oleh sebab itu, transformasi penting dijadikan perspektif menuju sebuah teologi baru. Transformasi itu berjalan linear, dan selalu bergerak dalam perubahan. Ia berkembang maju – ke depan – walau tidak terlepas dari pergumulan awal – menuju pada tujuan utama (initial aim) yang dicita-citakan.

Kontekstual transformatif, merupakan jawaban atas seluruh kebutuhan perubahan melalui pembenahan pemahaman, visi, isi, bentuk, strategi dan struktur berteologi. Semua itu berlangsung dalam dialog dengan konteks.

Dari situ sebetulnya teologi kontekstual merupakan jawaban. Namun kontekstualisasi itu sendiri harus merupakan usaha progresif dengan selalu terbuka pada data baru, bukan rumusan iman yang telah ada semata yang lalu dilihat sisi kontekstualnya.

Seperti contoh, ada kesan bahwa teologi kontekstual itu apabiloa kita melakukan kajian terhadap unsur-unsur kebudayaan baik secara dogmatis, liturgis, etis, dan berbagai pendekatan lain. Sehingga sering ditemui karya teologi yang membawa unsur-unsur budaya (sperti perkawinan, konsep-konsep budaya mengenai Tuhan (Upu Lanite/ Tete Manis, dll), atau sistem adat lainnya. Dari data-data itu lalu dibuatlah sebuah relevansi kontekstual, dengan pertanyaan-pertanyaan seperti “apakah sistem perkawinan adat itu masih relevan denganb konteks kini?” atau apakah konsep kepercayaan kepada Upu Lanite atau Tete Manis itu tidak bertentangan dengan iman Kristen mengenai Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus sebagaimana adanya kini? Pada sisi itu sebetulnya karya teologi kontekstualnya tetap konvensional.

Ada kecenderungan bahwa data teologi kontekstual adalah “warisan” budaya yang dimiliki oleh masyarakat. Sehingga tidak jarang terdengar bahwa “tidak ada lagi data untuk kajian teologi kontekstual”, karena “semuanya sudah dikaji”. Anggapan ini cenderung mengartikan data teologi kontekstual sebagai “pengalaman masa lampau”. Padahal data teologi kontekstual itu juga meliputi berbagai fenomena sosial masyarakat yang aktual, mengenai perubahan tata sosial masyarakat pergeseran paradigma ekonomi, pertentangan dan perubahan tata politik negara, kecenderungan psikologis dan perubahan paradigma berpikir suatu masyarakat. Teologi adalah juga apa yang dilakukan masyarakat setiap hari dalam seluruh realitas kerjanya.

c) Kesan Metodologis dalam Pendekatan Teologi

Bagian ini akan memaparkan sisi metodologis dalam teologi atau berteologi. Agar tidak kebablasan coba diuraikan dalam pola pendekatan dalam teologi, perspektif-perspektif dalam teologi, metode-metode dalam teologi. Semua itu akan bermuara pada usaha menyusun sebuah panduan metodologi penelitian bidang teologi. Sebagai panduan, kerangka metodologi yang tersaji nanti merupakan tools untuk mengerjakan penelitian bidang teologi.

a. Pendekatan dalam Teologi

Norman K. Gottwald, dalam salah satu bukunya, “The Politics of Ancient Israel”, (2001) menyebut ada dua corak pendekatan, yang dinamakannya dengan hukum dua penyebab (dual causality principle). Dua penyebab itu adalah divine system (pendekatan yang mengarah pada dimensi ke-Tuhanan) dan human system (pendekatan kemanusiaan).

· Divine System.

Sistem ini menggambarkan dunia dalam bentuk lingkaran atau gerak dunia adalah sebuah gerak siklis, dari satu titik, ke titik yang lain, dan kembali lagi ke titik semula. Nampak bahwa Tuhanh berada di atas semua elemen kemanusiaan. Otoritas Tuhan berada di atas semua elemen kemanusiaan, dan bisa juga otoritas organisasi (Gereja). Sementara masyarakat (umat beragama) berada pada lintang horisontal dan berhadapan lingkungan dan mengarah ke Tuhannya. Dalam kedudukan itu, masyarakat menanggapi konteksnya serta bertindak sesuai dengan amanat otoritas di atasnya (Tuhan). Ia mengemban tugas pemberitaan atau penerjemahan Injil kepada penerimanya. Tugas itu dilaksanakan dengan memanfaatkan semua media yang tersedia, terutama bahasa setempat, media budaya (mis. Upacara dan simbol-simbol adat), agama, sosial, media massa (elektronik dan cetak), dll. Ketika menerima amanat, muncul sikap, perilaku, watak masyarakat terhadap dunia, serta corak pemahaman mengenai Tuhan.

· Human system.

Berbeda dengan sistem 1, di sini dunia diibaratkan sebagai sebuah lintang linear yang bergerak ke depan. Masyarakat menempati lingkup utama dunia. Masyarakat berada dalam sebuah konstruksi plural, terdiri dari berbagai latar belakang agama, ras, budaya, bahasa, politik, profesi, dll. Dalam konteks kemajemukan itu, teologi ada dan mengalami dinamika yang sama dengan dinamika masyarakat. Teologi merupakan citra kontekstual yang historis dan berkembang dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu mesti dimengerti dalam kerangka imanensi, yaitu kehadiran secara eksistensial dalam kehidupan masyarakat manusia. Dalam arti itu, teologi juga dimiliki secara bersama oleh masyarakat yang berbeda-beda, dengan cara berbahasa yang sesuai dengan konteks masing-masing.

Teologi tidak mengacu dari “amanat”, melainkan karena kesadaran dan pengalaman kesehariannya, ia merumuskan visi, strategi, bentuk dan cara-cara yang tepat dalam berteologi. Dalam usaha itu, teologi berhadapan dengan tantangan konteks, berupa perubahan sosial yang bergerak dari waktu ke waktu. Akibatnya terbentuklah corak pemahaman masyarakat mengenai lingkungan, sesama dan Tuhan. Teologi pada awalnya adalah refleksi manusia mengenai diri, sesama dan lingkungannya. Refleksi itu yang kemudian menentukan pemahamannya mengenai otorita di atasnya, yaitu otorita dan realitas Tuhan.

Gambaran Gottwald, tersebut menjelaskan kepada kita bahwa kedua corak berpikir itu terus mewarnai teologi kita. Tanpa sadar kita terlalu jatuh berat pada satu (terutama divine system), sehingga teologi kita cenderung spiritualis; hilang konsentrasi sosialnya.

b. Beberapa Perspektif dalam Teologi.

Perspektif tua dalam teologi kita adalah perspektif naturalis, yaitu refleksi filsafat tentang dasar dan tujuan kahir dari “mengada kita”. Ia berkisar antara tema-tema penciptaan, pemeliharaan, pemulihan dan penebusan, atau dengan gamblang membentang sejarah penyelamatan (heilsgeschichte).

Sambil mengembangkan kerangka filsafat proses Whitehead, Cobb mengartikan teologi naturalis itu sebagai kisaran diskursus seputar pernyataan-pernyataan seperti pengakuan iman, kitab suci, dan rumusan-rumusan lainnya seperti diucapkan oleh para teolog di masa lampau. Cobb tidak menyangkali pentingnya corak itu. Bahkan baginya semua pandangan itu perlu bukan untuk menentukian mana yang salah dan benar, tetapi mana yang berguna dan dapat digunakan. Kesan lebih bahwa hal-hal itu kiranya dijadikan sebagai perspektif dalam berteologi. Sebab memutlakkan unsur-unsur itu sebagai dasar teologi adalah salah kaprah. Hal-hal itu merupakan bagian dari studi agama. Teologi mesti dibedakkan dari studi agama; sebab tujuan studi agama supaya orang memahami doktrin-doktrin agama itu, ia merupakan salah satu saja unsur dalam teologi menurut agama tertentu.

Mengingat terbatasnya perspektif naturalis itu, kemudian berkembang perspektif-perspektif baru dalam berteologi. Orang lalu mengembangkan seperti perspektif fenomenologis, dan kemudian fenomenologi sejarah dalam teologi. Usaha-usaha Mircea Eliade, Evans-Pritchard, dll ke dalam perspektif ini sebetulnya merupakan usaha mengembangkan studi antropologi dan sosiologi agama. Mereka kemudian tiba pada sebuah fakta kemanusiaan dan kemasyarakatan yang memerlukan pendasaran sejarah budaya sebagai tools untuk melihat sebetulnya sejarah kepercayaan masyarakat.

Mengenai hal itu para pendahulu mereka seperti Freud, James Fowler, atau juga Piaget dan Kohlberg, telah mengedepankan perspektif Psikologis dalam rangka memahami dimensi kepercayaan manusia itu. Perspektif sosiologis kemudian mewarnai dunia teologi dan/ atau agama-agama. Perspektif ini cenderung melihat sisi sosial kehidupan masyarakat sebagai “locus theology” yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan terutama berkembang dalam lingkungan agama-agama, termasuk dijadikan semacam tools dalam rangka menafsir kitab suci.

Dalam perkembangannya, perspektif teologi itu muncul seiring dengan perkembangan kontemporer masyarakat. Di sini dapat dilihat seperti teologi developmentisme, teologi feminim, atau gender, atau teologi dunia ketiga, dll. Perspektif-perspektif itu memperlihatkan bahwa perubahan dalam berteologi signifikan dengan perubahan metodologi itu sendiri. Dengan demikian apa pun argumentasinya, metodologi dalam teologi memainkan peran kunci dalam rangka mengembangkan dan membarui teologi itu sendiri.

c. Metode-metode dalam Teologi.

Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa teologi merupakan sebuah fenomena fenomenologis. Ia dipahami, dicari, dikembangkan, dirumuskan, diberlakukan, diuji, dirumuskan ulang, dst. Refleksi teologi adalah refleksi berproses dengan lingkungan, refleksi di dalam sejarah yang selalu berkembang. Hardiyanto, menjelaskan bahwa dari apa yang dipikirkan, dipahami, dst itu terlihat bahwa yang terjadi itu dikerjakan secara sistematis, dengan metode-metode yang disempurnakan, dan dalam suatu dialog yang meliputi seluruh dunia beriman.dari sana nyata bahwa kita sudah melakukan teologi sejak kita mulai berpikir mengenai iman, meskipun dalam bentuk yang spontan, sedikit banyak kebetulan, tidak secara sistematis dan ilmiah. Dengan demikian teologi mengintegrasikan iman kita ke dalam kehidupan kita sebagai subyek yang berkepribadian, yang berpikir dengan bebas. Jadi (a) kalau kita ingin ikut-serta dalam fenomen sosial yang disebut teologi Kristen, kita diarahkan kembali secara refleksif ke iman, dan dengan demikian ke kenyataan eksistensial kita yang paling dalam; (b) kalau kita ingin memenuhi keperluan eksistensial yang termuat dalam iman, kita merealisasikan iman sebagai pribadi yang bebas dan berpikir, maka kita mengembangkan hal atau kegiatan teologi.

Pada tataran itu penting diketahui metode-metode dalam teologi. Ini penting dalam rangka menjaga jarak kritis antara teologi dengan lingkungannya, serta membuat peta yang jelas tentang sisi teologi dan sisi agama. Kunci menggunakan metode dalam teologi adalah (a) untuk menghayati dialektika teks dan konteks, atau wahyu dan isi wahyu; (b) sebagai jembatan penghubung antara subyek yang berteologi dengan obyek teologi itu; (c) untuk mengasimilasikan wahyu dalam rangka memahami peristiwa (the fact) dan makna (the meaning) dari peristiwa tertentu.
Dengan demikian ada tiga metode dalam teologi, yaitu:

1) Metode historis; yang akan menentukan fakta; dan oleh karena fakta diketahui melalui dokumen-dokumen: metode akan menentukan keotentikan dan bentuk asli (kritik teks) dari dokumen-dokumen tersebut.

2) Metode hermeneutis; pertama-tama akan menentukan arti dari dokumen-dokumen itu (eksegesis teks), lantas mencari arti yang paling dalam baik dari kesaksian dokumen-dokumen maupun dari peristiwa-peristiwa sendiri.

3) Metode antropologis; yang diperlukan untuk mencapai pengertian tentang subyek manusiawi dan dunianya; dalam bidang ini semua bidang ilmu manusia, yang berpusatkan pada filsafat manusia yang utuh, menyumbangkan hasilnya pada teologi.

Ketiga metode itu tidak dapat dilepaspisahkan, melainkan mesti digunakan secara mutual, dalam arti saling mengisi. Walau demikian, setiap metode mesti dikerjakan sesuai dengan kaidah metode masing-masing.

Teologi menggunakan metode historis, hermeneutis dan antropologis dari ilmu-ilmu lain, dan dalam cara menggunakannya juga tidak berbeda dengan ilmu-ilmu yang lain itu. Teologi menentukan suatu fakta historis, keotentikan atau bentuk asli atau arti dari suatu dokumen, struktur dari suatu kegiatan atau institusi manusiawi, tepat seperti ilmu-ilmu lain itu bekerja. Yang paling-paling dapat dikatakan khusus dalam teologi ialah bahwa penggunaan dan perjalanan langkah demi langkah dari metode-metode itu ditentukan oleh intensi iman, dan diarahkan ke kesatuan yang ditentukan oleh iman. Dengan perkataan lain, terhadap metode-metode, iman berlaku sebagai asas pembentuk, yang menyatukan dan menghidupkan.

Dengan demikian teologi merupakan usaha refleksif, metodis dan sistematis, yang akan mengasimilasikan dan mengekeplisitasikan wahyu ilahi secara manusiawi; usaha refleksif, metodis dan sistematis yang akan menerima wahyu ilahi dengan pengertian (fides in statu scientiae). Teologi memakai metode historis, hermeneutis dan antropologis, menurut hukum-hukum dari metode tersebut dalam ilmu-ilmu lainnya. Semua metode tersebut lantas dipersatukan dan diarahkan oleh intensi teologi, yaitu pemahaman iman.

0 komentar:

tentang blog ini

Blog ini didirikan dengan tujuan sebagai tempat diskusi online orang Maybrat dimana saja berada.

1. apakah anda sudah menjadi anggota?
2. berikan pesan, komentar, pendapat, ide, nyanyian, syair, canda, tawa, dan lain-lain tentang apa saja, terutama yang berkaitan dengan Maybrat, di blog ini.

terima kasih dan salam

Blog Archive

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP