Pengikut

Rabu, 21 April 2010

ANTROPOLOGI BUDAYA DAN TRANSFORMASI IMAN


2010 Copyright Institut Leimena


2010 Copyright Institut Leimena


2010 Copyright Institut Leimena

ANTROPOLOGI BUDAYA DAN TRANSFORMASI IMAN


oleh

Hamah Sagrim


A. Kritik dan Saran.

Hendrik Kraemer telah melakukan kritik halus terhadap imperialisme agama dalam gerakan penginjilan. Kritiknya itu didasarkan pada perilaku para misionaris yang melawan berbagai praktek ‘agama asli atau Agama Suku’ (tribal religion).

Kecenderungan imperialisme agama itu disentil Anton Quack, karena menurutnya hal itu membuat orang menjadi miskin. Selalu ada ketegangan di antara para misionaris dan para antropolog: terbanyak ketegangan itu disebabkan oleh syakwasangka. Dua kutub ini dalam jangka waktu yang lama terkesan ‘tidak akur’.

Paul Hiebert menyebut relasi itu laksana ‘relasi cinta tapi benci’. Padahal dari para misionaris, kita banyak mendapat gambaran etnografi mengenai suatu masyarakat. Hasil kerjaWilhelm von Rubruk, Bernardino de Sahagun dari ordo Fransiskan (1215-1270) adalah gambaran berharga mengenai bangsa-bangsa Asia Pedalaman. Wilhelm E. Muhlmann, malah patut disebut sebagai misionaris-etnograf, yang laporannya mencuat karena kesetiaannya dalam pengamatan dan semangat ilmiahnya yang asli.

Misionaris lain adalah Joseph Fancois Lafitau (1681-1746), diakui bapa antroplogi perbandingan, karena karyanya “Adat-istiadat bangsa Amerika asli, dibandingkan dengan adat-istiadat masa-masa awal” (1724). Lafiatu juga mengecam dengan tajam para misionaris lain yang dinilainya sama dengan pelancong-pelancong lain, yang penuh dengan syakwasangka, tidak mahir berbahasa setempat, dan kurang memahami budaya asing.

Sejak awal, para misionaris telah menerima tesis tentang universalitas umat manusia. Meskipun demikian, para antropolog menuduh para misionaris sekurang-kurangnya dalam praktik, tetapi beranggapan bahwa budaya kristen, yakni Barat, lebih tinggi. Para misionaris yakin bahwa kebudayaan kristen mereka sendirilah yang lebih baik dan lebih tinggi dibandingkan kebudayaan bangsa-bangsa ke mana mereka dikirim.

Kesan paling radikal dari kalangan antropolog adalah para misionaris diperlat oleh penjajah. Para ahli sejarah membenarkan hal itu karena para misionaris Protestan dan Katolik harus mengambil bagian dalam kongers-kongers kolonial Jerman. Karena itu mereka bukan hanya disebut diperalat penjajah, tetapi juga membonceng pada kekuasaan penjajah, yang melayani usaha karya misi, baik secara sadar maupun tidak. Hal itu karena para misionaris dan penjajah berasal dari latar belakang budaya yang sama, dan memiliki keyakinan yang sama bahwa budaya Barat lebih unggul. Tugas mereka adalah untuk menyebarkannya ke daerah jajahan. Dengan demikian saya dapat memberikan suatu kesimpulan dalam pandangan ini bahwa, agama-agama moderen adalah perahu tumpangan jajahan, bahkan selebihnya agama-agama juga bisa disebut sebagai organ penjajah yang di ekspansikan ke wilayah-wilayah jajahan dengan memakai nama Tuhan sebagai hiburan yang mengina bobokan mereka yang di jajahi.

Para antropolog juga telah menyimpulkan tindakan para misionaris itu, yang mana disemangati juga oleh ideologi ‘perubahan budaya’. Di sini para misionaris dilihat bukan sebagai ‘agen perubahan’ melainkan sebagai pengantara di antara kebudayaan. Mereka menganggap budaya pribumi sebagai tabula rasa (papan putih) sejauh menyangkut agama.

Kritik para antropolog adalah bahwa para misionaris mengubah dan mengganggu budaya sekurang-kurangnya harus mendorong para misionaris bertanya kepada diri sendiri, apakah mereka mempunyai hak untuk mengubah suatu kebudayaan. Apa yang memberi kepada para misionaris hak untuk campur tangan dengan kebudayaan tertentu? Apakah kriterianya untuk ini? Pastilah dalam hubungan dengan para misionaris, ketidaktahuan dapat melahirkan kesalahan.

Dalam mengatasi ketegangan itu, tindakan inkulturasi merupakan jawabannya. Istilah ini muncul pertama kali dalam bahasa Perancis (1953) sebagai kata terjemahan dari istilah Inggris ‘enculturation’, yang mempunyai pengertian sangat mirib dengan istilah Jerman ‘Sozialisation’. Pendekatan inkulturasi ini dijembantani, secara keilmuan, dengan pendekatan lintas budaya (cross culture). Dengan kata lain, usaha inkulturatif mengandaikan kemampuan untuk membedakan kekristenan dari ‘pakaian’ budayanya (seringkali terutama budaya sang misionaris sama itu sendiri). Hal itu bukan merupakan sesuatu yang mudah. Ini setara dengan kritik injil. Dalam pendekatan inkulturatif, kritik kebudayaan dalam terang injil bertujuan untuk pemerdekaan semua manusia dan mempromosikan suatu kemanusiaan yang sejati. Sebenarnya dapat terlihat dengan jelas bahwaybrat, Imian, Sawiat, Papua seperti ‘kue lapis’, atau ‘varnish’, suatu lapisan tipis di atas lapisan agama asli yang sangat kuat. Ini terlihat dengan jelas bahwa adanya perbedaan cara pandang. Misionaris mewakili cara pandang Barat yang bertumpu pada Filsafat Yunani, lalu memandang orang-orang di Timur (Maybrat, Imian, Sawiat) sebagai yang kurang beradab dibanding orang Barat. Jadi proses penginjilan ini serentak dengan penjajahan (dalam arti politis) terjadi juga penjajahan dalam arti religius. Idiomatik ‘siapa punya negara dia punya agama (cuis regio,euis religio – Pasal 36 Pengakuan Iman Belanda)’ malah menjadi semacam teologi para misionaris yang berkolaborasi dengan penjajah. struktur iman Kristen orang Ma

B. Aspek Antropologi Institusi Sebagai Frame Perilaku Manusia

Keluarga – frame dasar perkembangan perilaku manusia. Para antropolog seperti J. Lubbock, J.J. Bachofen, J.F. McLennan, G.A. Wilken, dll, pada tingkat pertama dalam proses perkembangan masyarakat dan kebudayaannya, manusia mula-mula hidup mirip sekawanan hewan berkelompok, dan pria dan wanita hidup bebas tanpa ikatan. Kelompok keluarga inti sebagai inti masyarakat karena itu juga belum ada. Lama-lama manusia sadar akan hubungan antara seorang ibu dan anak-anaknya, yang menjadi satu kelompok keluarga inti, karena anak-anak hanya mengenal ibunya, tetapi tidak mengenal ayahnya. Dalam kelompok seperti itu ibulah yang menjadi kepala keluarga. Perkawinan antara ibu dan anaknya yang berjenis pria dihindari, sehingga timbullah adat eksogami. Keturunan kemudian dihitung dari garis ibu (matrilineal).

Studi antropologi pun melihat perkembangan daur hidup manusia, mulai dari masa bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa puber, masa sesudah menikah, masa kehamilan, masa lanjut usia, dll. Pada masa peralihan antara satu tingkat kehidupan ke tingkat berikutnya, biasanya diadakan pesta atau upacara dan sifatnya universal, dengan maksud bahwa seseoarang telah masuk ke dalam suatu lingkungan sosial yang baru dan lebih luas.

Suatu tahapan penting dalam daur hidup manusia itu adalah perkawinan. Dalam kebudayaan, perkawinan merupakan pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan kelaminnya. Perkawinan (eksogami ) membatasi seseorang untuk bersetubuh dengan lawan jenis lain selain suami atau istrinya. Selain sebagai pengatur kehidupan kelamin, perkawinan berfungsi juga untuk memberi perlindungan kepada anak-anak hasil perkawinan, memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup, memenuhi kebutuhan akan harta dan gengsi, memelihara hubungan baik dengan kelompok-kelompok kerabat tertentu.

Perkawinan juga membawa akibat-akibat yang sangat luas. Dua orang menikah, mula-mula adalah warga dari kelompok kekerabatan yang berbeda dalam masyarakat. Oleh karena itu ikatan perkawinan tidak hanya berakibat pada kedua individu terebut, tetapi juga pada keturunan mereka.

Salah satu akibat dari pernikahan itu adalah adat menetap sesudah menikah. Dalam budaya masyarakat, ada tujuh jenis adat menetap sesudah menikah yang diutarakan oleh para antropologi:

1. Adat untolokal, yang memberi kebebasan kepada sepasang suami-istri untuk memilih tinggal di sekitar kediaman kaum kerabat suami atau di sekitar kediaman kaum kerabat istri;

2. Adat virilokal, yang menentukan bahwa sepasang suami-istri diharuskan menetap sekitar pusat kediaman kerabat suami;

3. Adat uxorilokal, yang menentukan bahwa sepasang suami-istri harus tinggal sekitar kediaman kaum kerabat istri;

4. Adat bilokal, yang mengharuskan bahwa sepasang suami-istri diwajibkan tinggal di sekitar pusat kediaman kerabat suami pada masa tertentu dan di sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri pada masa lainnya;

5. Adat neolokal, yang menentukan bahwa sepasang suami-istri menempati tempatnya sendiri yang baru, dan tidak mengelompok bersama kerabat suami atau istri;

6. Adat avunkulokal, yang mengharuskan sepasang suami-istri menetap sekitar tempat kediaman saudara pria ibu (avunculus) dari suami;

7. Adat natolokal, yang menentukan bahwa suami dan istri masing-masing hidup terpisah, di antara kaum kerabatnya sendiri-sendiri.

Perkawinan kemudian berdampak langsung pada pembentukan keluarga atau rumah tangga. Dalam kebudayaan atau sosiologi, ada yang disebut:

1. Keluarga inti; termasuk di dalamnya adalah suami, istri dan anak-anak mereka yang belum menikah. Anak tiri dan anak yang secara resmi diangkat sebagai anak memiliki hak yang kurang lebih sama dengan anak kandung, dan karena itu dapat dianggap sebagai anggota keluarga inti.

2. Keluarga luas; yang merupakan kesatuan sosial yang sangat erat ini selalu terdiri dari lebih dari satu keluarga inti. Warga keluarga luas umumnya masih tinggal berdekatan, dan seringkali, bahkan masih tinggal besama-sama dalam satu rumah. Keluarga luas juga terdiri dari keluarga luas utrolokal (berdasarkan adat utrolokal), yang terdiri dari satu keluarga inti senior dengan keluarga inti anak-anaknya, baik yang pria maupun wanita; keluarga luas virilokal, yang berdasarkan pada adat virilokal dan terdiri dari keluarga inti senior dengan keluarga inti dari anak-anak laki-lakinya; keluarga luas uxorilokal, berdasarkan adat uxorilokal, yang terdiri dari keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga inti dari anak-anak wanita.

Dalam berbagai masyarakat, ikatan keluarga luas sedemikian eratnya sehingga mereka tidak hanya tinggal bersama dalam satu rumah besar, tetapi juga merupakan satu rumah tangga dan berbuat seakan-akan mereka merupakan satu keluarga inti yang besar.

Keluarga besar; adalah kelompok kekerabatan yang terdiri dari semua keturunan dari seorang leluhur, yang diperhitungkan melalui garis keturunan pria atau wanita, sehingga ada klen besar patrilineal dan klen besar matrilineal. Lht. J. Lubbock, The Origin of Civilization and the Primitive Condition of Man, London: 1873. Menurut teori ini, masyarakat pada awalnya berbentuk matrilineal. Patrilineal kemudian baru berkembang seiring dengan kolonialisme yang lebih menerapkan budaya dominasi dan paternalistik yang mapan.

Bentuk-bentuk upacara itu dikenal juga di Maybrat, Imian, Sawiat, Papua seperti ritus minangmfot bofot) dan finya migiar (didikan wanita untuk persiapan minang) masa peralihan anak ke remaja dalam masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat seperti ini sangat kental dan penuh kedisiplinan. Bentuk-bentuk ritus ini dilaksanakan sekaligus untuk membedakan sex anak. Selain eksogami, ada juga bentuk perkawinan lain yang disebut endogami. (

C. Karakter Manusia dan Perbedaan Budaya.

Bahasan Bourguignon dalam bukunya difokuskan pada kecenderungan perilaku manusia (individu dan masyarakat) dibentuk oleh kebudayaan masyarakat setempat. Karena itu perbedaan-perbedaan secara tipikal pada perilaku tertentu adalah hasil bentukan kebudayaan, dan tidak terjadi semata-mata karena faktor psikologis manusia. Teori ini sebenarnya yang dimaksudkannya dengan Psychological Anthropology (antropologi psikologi), sebagaimana mewarnai bukunya ini.

Bourguignon memulai dengan menyajikan peta perilaku anak-anak dalam tiga rumpun kebudayaan yang berbeda, yakni Amerika Serikat, Prancis dan Haiti. Menariknya ialah, kejadian (event) yang diambilnya adalah perkelahian atau bentuk agresi fisik (physical aggression) di kalangan anak-anak pada ketiga rumpun kultur itu. Di Amerika, suatu waktu ditemui, dalam penelitiannya, dua anak laki-laki yang berkelahi di tengah jalan pada saat pergi dan pulang sekolah. Tampak seorang anak memukul temannya, dan kemudian berlari meninggalkan temannya yang dipukuli itu. Sementara di Pyrane, sebuah desa di Selatan Prancis, dua anak kedapatan berkelahi. Seorang anak memukuli temannya, dan kemudian meninggalkan temannya itu. Seorang lainnya mendekati anak yang dipukuli itu, lalu melihat keadaannya, dan kemudian meninggalkannya juga. Sedangkan seorang anak perempuan sekitar delapan tahun, kedapatan memukuli adik lelakinya yang berusia enam tahun di Haiti, karena kedapatan tidak patuh padanya. Tetapi kemudian mereka tetap berjalan bersama-sama.

Bourguignon menekankan pada perbedaan-perbedaan itu dengan melihat bagaimana sehingga kejadian pada dua anak di Amerika itu terjadi justru di tengah masyarakat kota yang sudah sangat maju. Di tengah peradaban yang sudah semakin berkembang, dan tidak ada intervensi orang dewasa di dalamnya. Berbeda sedikit dengan desa-desa di Prancis, seperti dikutipnya dari tulisan Laurence Wylie, bahwa: di Peyrene itu, jika dua anak berkelahi mereka harus dilerai oleh orang dewasa. Jika tidak ada yang melerai mereka, keduanya harus dihukum. Dalam hal ini tidak usah dimasalahkan siapa yang memulai perkelahian atau siapa yang benar. Mereka berdua berkelahi, dan konsekuensinya adalah mereka berdua bersalah (Wylie, Village in the Vaucluse, 3rd edition, Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1974:49-50). Sedangkan dalam kasus dua anak di Haiti, jelas posisi kedua anak ini tidak setara. Mereka adalah kakak-beradik; sang adik dipukuli karena kedapatan tidak patuh kepada kakaknya. Sang kakak mengambil tindakan demikian sebab ia mendapat mandat dan melaksanakan peran ibunya. Tindakan pembalasan dari sang adik adalah sesuatu yang tidak benar, sebab dalam kasus itu, memukuli kakak perempuan sama dengan memukuli ibu mereka. Dengan demikian itu yang disebut dosa. Kakak perempuannya itu memiliki otoritas dan tindakannya memukuli adiknya bertujuan untuk mendisiplinkan dia.

Bagi Bourguignon, beberapa contoh itu menjelaskan mengenai tipe interaksi sosial (social interaction) di antara masyarakat, serta orientasi budaya di dalam perilaku masyarakat. Dalam masyarakat Peyrene di Prancis, keterlibatan orang dewasa dalam melerai perkelahian dua anak bersumber dari model regard, atau penghargaan yang sudah menjadi model di dalam perilaku orang dewasa.

Tentang hal itu, adakalanya kekerasan bisa juga menjadi suatu model yang kerap kedapatan di dalam masyarakat yang kurang terdidik (uneducated) dan komunitas miskin. Di sini kekerasan bahkan dilihat sebagai cara untuk menjadi “better people”.

Dalam kasus ini, contoh dari Haiti adalah contoh dari sosialisasi anak (child socialization), dengan fokus pada bagaimana seseorang anak dilatih untuk patuh kepada kakaknya. Dalam arti itu, anak perempuan yang memukuli adiknya dan menghukumnya patuh kepada perintah ibunya dalam mendisiplinkan adiknya. Pola seperti itu terjadi karena dalam masyarakat Haiti terdapat hierarkhi berdasarkan usia anak. Perbedaan seks tidak menjadi hal yang determinan, karena itu seorang kakak perempuan menjadi tuan atas adik lelakinya. Di sini terkandung nilai religious, bahwa memukuli kakak perempuan adalah dosa. Ini terjadi dalam sistem yang tidak seimbang, di mana seseorang berada di atas atau di bawah dalam ranking sosialnya. (hlm.4).

Sedangkan dalam contoh di Prancis, fokusnya terletak pada nilai (values), sehingga persoalan pokok dari perkelahian bukan “siapa yang memulai” atau “siapa yang benar”. Ini dibentuk oleh pengaruh pendidikan. Masyarakat yang terdidik akan lebih fokus pada nilai di dalam perilaku individu dan kelompok.

D. Fokus Studi Antropologi Psikologi

Pada halaman 14-17, Bourguignon menceritakan latar belakang sejarah munculnya Antropologi Psikologi sebagai suatu sub-bidang keilmuan yang independen.

Dijelaskannya bahwa sub-bidang keilmuan ini berkembang pertama kali melalui studi terhadap kebudayaan dan perkembangan personalitas manusia yang populer di Amerika Serikat, ketika psikoanalis semakin mantap berkembang di sana. Beberapa pakar yang mulai merintis jalan ke arah itu seperti Hallowell (1954). Ia menunjukkan bahwa sifat dasar psikologi dan antropologi sejak ratusan tahun pertama, hanyalah merupakan dampak dari hasil kerja Darwin. Dalam kaitan itu, beberapa karya antropologi Jerman awalnya, seperti karya T. Waiz dan A. Bastian, yang berorientasi psikologis. Psikologi awal ini adalah sebuah psikologi sosial. Dalam pandangan itu, E.B. Taylor (1871 – ia kemudian lebih dikenal melalui berbagai teori tentang Evolusi) yang mengemukakan sebuah analisis budaya yang cukup populer bahwa: kebudayaan, adalah kompleksitas dari pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, tradisi dan berbagai macam hasil karya manusia serta lingkungannya dan digunakan manusia sebagai bagian dari masyarakat; bukanlah milik khusus individu.

Seperti disebutkan F.L.K. Hsu, yang dikutip Bourguignon, Apa yang diperlukan dalam antropologi adalah menentukan premis atau postulat dari karakter manusia melalui bentuk-bentuk dasar pada setiap budaya dan masyarakat. Manusia tidak sama dalam setiap masyarakat yang berbeda dalam hal anggotanya, barang-barang yang mereka miliki, obyek-obyek lainnya dan semua itu saling berbeda serta merupakan pengungkapan perilaku individu dan kelompoknya (Hsu, “The Art of Teaching the Human Science”, Report on Teaching, 5. Change: The Magazine of Learning, 1978a:7).

Suatu bentuk perbedaan lain tampak melalui bagaimana perasaan seseorang terhadap lainnya dan bagaimana hal itu terjadi sejak awalnya, dan begitu seterusnya menjadi cara yang berbeda dalam mengungkapkan perasaan. Ini menunjukkan bahwa budaya itu adalah suatu sistem; ibarat teka-teki silang yang mengandung berbagai bagian yang saling terhubung. Kita bisa memulai dengan suatu bagian tertentu, dan melanjutkan pada bagian lain agar bagian itu dapat dimengerti secara utuh.

Bourguignon membangun asumsi atropologi psikologi ini dengan mengedepankan beberapa terminologi metodologis yang kiranya menjadi rujukan kita dalam melakukan riset. Apa yang dikemukakannya tentang commonsense observation, secara metodologis adalah suatu usaha dalam antropologi psikologi untuk menemukan bagaimana setiap perbedaan itu terjadi, dan baaimana hubungannya dengan kehidupan sosial. Ia juga mengeksplorasi suatu dasar tentang hal-hal yang mungkin saja sama dalam kehidupan manusia, atau yang perbedaannya kecil saja. Bertumpu pada temuan itu, kita lalu belajar tentang apa yang telah ditemukan, metode apa yang bagus untuk menemukan bukti empiris, dan apakah ada pertanyaan baru dalam seluruh proses yang telah dijalani itu.

Proses metodologi berikutnya adalah cross-cultural, di mana kita mesti pahami bahwa masyarakat kita adalah satu-satunya spesies yang memiliki cara hidup (way of life) yang khusus, sebagai suatu fenomena lokal.

Dalam kaitan itu, kebudayaan masyarakat kiranya dipahami sebagai sesuatu yang dimiliki masyarakat melalui proses belajar dan pengalaman, ia bukanlah suatu bentukan genetik seorang individu. Tetapi perkembangan adalah hasil dari relasi yang rapat antar manusia dengan warisan yang berbeda dari zaman leluhurnya, yang juga diproduksi dalam proses sosial dan budaya, seperti juga tampak melalui perang dan migrasi.

E. Evolusi Perilaku

Teori ini bertolak dari evolusi perilaku manusia secara biologis, artinya adanya perkembangan perilaku (dari semula yang identik dengan binatang). Dalam perkembangannya, perilaku manusia semakin berkembang, dan menjadi sesuatu yang berbeda dari binatang karena struktur kesadaran yang ada pada manusia.

Bentuk-bentuk perilaku awal itu terjadi dalam masa yang disebut protocultural. Dalam masa itu, perilaku manusia adalah sesuatu yang dibedakan secara tajam dari perilaku hewani. Hallowell menstudikan hal itu dengan melihat pada mode adaptasi budaya. Ia melihat tahapan protocultural itu sebagai masa preadaptasi di mana manusia belajar dari tipe-tipe perilaku yang sederhana, kemudian dibantu oleh proses sosialisasi individu dalam struktur sosial yang terus berkembang karena adanya peran-peran yang berbeda di antara setiap kelompok manusia.

Perubahan perilaku itu terjadi karena beberapa hal, yakni: pertama, learning (belajar). Proses ini mengacu dari kompleksitas kebudayaan, dengan demikian proses ini bertujuan agar orang belajar berperilaku (learned behavior). Yang hendak dicapai di sini adalah perkembangan kapasitas belajar di dalam konteks kebudayaan.

Proses kedua adalah socialization sebagai proses awal dari periode kehidupan manusia di dalam masyarakat. Proses ini terjadi melalui serangkaian adaptasi manusia, baik individu maupun kelompok. Proses ini berlangsung dalam suatu relasi khusus, ibarat relasi cinta orang dewasa, tetapi tidak seeksklusif seperti relasi antara seorang ibu dan bayinya. Durasinya bisa lama tetapi juga cepat, tergantung pada kemampuan manusia mengadaptasi dirinya dalam lingkungan itu.

Proses ketiga adalah pembentukan kelompok sosial, di sini Hallowell melihat berlangsungnya proses transmisi di dalam belajar berperilaku. Ada proses pengalihan perilaku dari satu generasi ke generasi yang berikutnya, dan hal itu berlangsung melalui proses belajar yang telah ditempuh dari generasi ke generasi itu.

Di dalam proses transmisi itu, faktor bahasa memegang peran penting dalam upaya alih perilaku dalam sistem-sistem sosial yang ada. Hal itu yang dimaksudkan Steward sebagai ‘cultural type’, dan ‘level integrasi sosial budaya’. Dari segi perilaku, ia kemudian menyebutnya sebagai suatu pendekatan ‘evolusi multilinear’.

F. Pendekatan dalam Hubungan Antara Budaya dan Kepribadian

Pertanyaan pokok dalam kaitan ini adalah (1) bagaimana konsep hubungan antara budaya dan kepribadian (personalitas); (2) kategori apa yang biasa digunakan untuk mendeskripsikan kepribadian? Dan (3) metode apa yang biasanya digunakan untuk menginput kepribadian secara cross-culturally? Untuk menjawab tiga pertanyaan itu, Bourguignon menetapkan adanya tiga pendekatan, masing-masing: pendekatan konfigurasional; pendekatan reduksi psikoanalis; dan pendekatan mediasi individu.

a. Pendekatan Konfigurasional

Contoh paling gamblang mengenai pendekatan ini mengacu dari tesis Ruth Benedict melalui bukunya Patterns of Culture, suatu hasil penelitian (konfigurasional) terhadap masyarakat dengan analisis terhadap pengaruh Pueblos dan Zuni di New Mexico, Dobuans di Melanisia, dan budaya juga pengaruh Pueblos di dataran Indian. Sebenarnya sebelum Benedict, Franz Boas telah melakukannya di masyarakat Kwaikiutl, dengan mengidentifikasi bentuk-bentuk konfigurasi yang dominan.

Pola analisis seperti itu mengandung pengertian bahwa pendekatan konfigurasional melihat pada pengaruh beragam bentuk kebudayaan terhadap perilaku individu. Asumsinya dari pola perilaku seseorang kita bisa mengenal tipe kebudayaan masyarakatnya, atau sebaliknya. Mengenai hal itu, Bendict mengatakan: Jika kita meneliti perilaku manusia, pertama-tama kita mesti memahami institusi sosial di dalam suatu masyarakat. Sebab tingkah laku manusia turut ditentukan oleh bentuk-bentuk institusi itu, termasuk perilaku yang ekstrim, merupakan bagian dari kebudayaan setempat (Benedict 1961:236).

Dalam pandangan itu, budaya membangun tiap individu manusia, dan ditemukan dalam studi terhadap perilaku individu. Walau demikian, Benedict melihat pada pentingnya integrasi kebudayaan dalam membentuk perilaku manusia itu. Baginya, perilaku manusia itu adalah aktualisasi dari apa yang diberikan oleh budaya. Perilaku itu adalah suatu given dari kebudayaan.

b. Pendekatan Reduksi Psikoanalis

Mengacu dari kerja Benedict itu, Géza Róheim, antropolog asal Hungaria, mencoba menindaklanjuti analisis psikoanalisis yang dikerjakan oleh Marie Bonaparte, putri raja George dari Yunani, yang juga adalah murid Freud. Róheim kemudian fokus pada masyarakat Aborigin di Australia, dalam rangka melihat apa yang disebut Freud dengan Totem and Taboo. Mengikuti alur pemikiran Freud, Róheim membahas kesadaran primitif (primitive neurotics), dan hubungannya dengan evolusi kebudyaan. Dengan penelitian ini Róheim sebenarnya hendak menjembatani kesenjangan yang selama ini terjadi pada analisis psikoanalisis dengan mengedepankan apa yang kemudian ia sebut psycho-analitic ethnology (pasikoanalisis etnologi).

Dari dasar penelitian lapangannya di bidang antropologi dan psikoanalisis, Róheim lalu mengembangkan ‘teori ontogenetik budaya’. Teori ini melihat kebudayaan sebagai hasil dari ‘human delay infancy’. Hal itu mengandung ‘karakter kelompok’ dari suatu masyarakat sebagai hasil atau respons terhadap tipe-tipe trauma dari masyarakat tertentu itu. Ia berpendapat bahwa setiap masyarakat terdapat aspek-aspek khusus dalam interaksi antara anak-anak dan orang dewasa terutama aspek ‘painful’ (rasa sakit). Róheim mengakui eksistensi individu dalam masyarakat, dan variasi karakter individu (di era modern) itu adalah suatu perkembangan dari karakter masyarakat primitif.

Teori Róheim ini mengasumsikan bahwa perilaku manusia itu tidak ditentukan secara biologis, melainkan juga oleh kebudayaan masyarakat. Sejak semula telah ada kesadaran (primitif).

c. Pendekatan Karakter Mediasi

Pendekatan ini berasal dari Abram Kardiner, dan beberapa antropolog seperti Ralph Linton dan Cora Du Bois. LeVine (1973) menyebutnya sebagai ‘pendekatan karakter mediasi’.

Para antropolog ini melihat pada basic personality structure. Du Bois malah melihat apa yang ia istilahkan modal personality. Istilah ini menerangkan pada karakter yang dibagi oleh anggota kelompok mayoritas adalah hasil dari pengalaman masa kanak-kanak setiap orang. Karakter itu kadang dibagi dalam institusi keluarga, sebagai institusi paling dasar (primary institution). Aspek lain yang berpengaruh pada karakter mediasi itu adalah secondary institution, seperti dari agama, folklore, mitologi, seni, dll. Institusi sekunder ini menghasilkan ‘projective systems’ atau ‘projective screens’. Menurut teori ini, institusi utama suatu masyarakat menghasilkan struktur dasar perilaku, yang mengungkapkan perilaku-perilaku yang kelihatan di masa kini – konflik, fantasi, dll – dalam bentuk institusi sekunder.

Untuk memahami teori ini, Linton dan Kardiner mengajak melihat pada apa yang disebut ‘institusi’, yaitu apa yang dilakukan, dipikirkan, dipercayai, atau dirasakan manusia. Tempatnya ada dalam perilaku manusia, dan diakomodasi dalam institusi itu. Perbedaan bentuk perilaku ini sebenarnya ada juga dalam masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, Papua. Satu hal yang kiranya perlu dilihat adalah bagaimana sehingga terdapat perbedaan perilaku tersebut, dan apa konsep kebudayaan yang terkandung sehingga kedapatan bentuk perilaku yang berbeda itu. Dalam kasus ini, terkadang orang menjadikan kekerasan sebagai bentuk ekspresi diri. Faktor pendidikan memang selalu menjadi indikator utama dalam membentuk perilaku individu atau kelompok. Masyarakat dengan tingkat pendidikan baik akan menggunakan model negosiasi (negotiation) untuk memecahkan perbedaan di antara mereka, sedangkan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah akan menggunaka model aggression. Teori ini pun sejalan dengan Klukholn, melalui term cultural universal, yakni adanya tujuh unsur budaya yang universal pada setiap masyarakat di dunia; teori yang kemudian dikembangkan juga oleh Koentjaraningrat tentang antropologi masyarakat di Indonesia. Observasi terhadap pandangan umum. Dalam term penelitian sosial, common sense merupakan salah satu sumber kebenaran atau pengetahuan yang bisa dijadikan acuan ekspolrasi ilmiah. Kebenaran-kebenaran dalam common sense adalah kebenaran standard yang masih perlu diuji melalui penelitian ilmiah (science research method). Baca Pada aspek perilaku, perang dan migrasi juga dapat membentuk suatu tipe perilaku masyarakat, seperti tampak dalam apa yang kerap disebut modeling, di mana seseorang akan berperilaku seperti orang atau kelompok lain melalui cara meniru, atau karena kepadanya diperkenalkan cara perilaku tertentu.

Dalam hal belajar, orang bisa belajar dari pengalaman tertentu [di masa lampau] dan melihatnya sebagai perilaku yang membudaya. Akibatnya cenderung mengcopy perilaku lama itu menjadi perilaku komunitas yang baru [modeling]. Aspek ini kemudian akan dikembankan dalam penelitian kami selanjutnya setelah penulisan buku ini rampung yang mana bertujuan untuk melihat motiv kebudayaan dalam perilaku individu atau kelompok (informan dalam penelitian). Artinya, perilaku ini akan ditelusuri dari asumsi-asumsi kebudayaan sebagai bentuk primitive neurotics itu. Apakah perilaku ini telah ada dalam masyarakat Maybrt, Imian, Sawiat, di zaman lampau, dan apakah masih ada dalam masyarakat dewasa ini. Kadang pengalaman perilaku individu dibentuk oleh perilaku anggota keluarga lainnya. Umumnya kita mengidentikkan perilaku seorang anak dengan perilaku orang tuanya.

0 komentar:

tentang blog ini

Blog ini didirikan dengan tujuan sebagai tempat diskusi online orang Maybrat dimana saja berada.

1. apakah anda sudah menjadi anggota?
2. berikan pesan, komentar, pendapat, ide, nyanyian, syair, canda, tawa, dan lain-lain tentang apa saja, terutama yang berkaitan dengan Maybrat, di blog ini.

terima kasih dan salam

Blog Archive

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP